Sabtu, 18 Juli 2009

Sastra Peranakan Tionghoa: Sastra Yang Tercecer

Oleh : Van Prey

(bagian I)

Perkembangan suatu bangsa dari waktu ke waktu pasti mengalami perubahan. Entah perubahan ke arah yang lebih maju atau sebaliknya dan bahkan ada juga yang stagnan. Rekaman sebuah perkembangan suatu bangsa, selain dapat dilihat melalui kaca mata sejarah dapat pula di lirik dari kesusateraan bangsa yang bersangkutan.
Perjalanan kesusateraan Indonesia dari klasik hingga modern adalah sebuah perjalanan bangsa Indonesia. Hal itu dikarenakan sastra tidaklah lahir dari sebuah kekosongan budaya. Ia ada akibat pengaruh kondisi dan situasi sosial, budaya, ekonomi, politik, agama bahkan juga ideologi yang berkembang dalam masyarakat yang berdiam di dalam bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu, ada sebuah studi dalam ilmu sastra yakni sosiologi sastra yang digunakan oleh para ahli untuk melihat kondisi masyarakat ketika karya sastra tersebut dibuat. Selain sastra tidak lahir dari sebuah kekosongan, keberadaannya juga sebagian dari cermin tingkah dan pola laku masyarakat.
Rene Wellek menuliskan bahwa ilmu sastra dipecah atas tiga pilar, yaitu teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra ( Pradopo, 2008:1). Ketiganya saling berjalin-kelindan dan tidak bisa ditinggalkan satu dengan yang lainnya. Ketiga pilar itu adalah sebuah hirarki yang harus dipelajari secara runtut. Teori sastra sangat erat hubungannya dengan kritik sastra karena kritik sastra membutuhkan sebuah teori sebagai sandarannya. Sejarah sastra juga berkaitan dengan kritik sastra, dimana ketika melakukan penilaian pada sebuah karya sastra, tentu adalah lebih sempurna jika menganalisa secara intertekstual. Maksudnya adalah apakah karya yang bersangkutan, jiplakan atau transformasi dari karya sebelumnya. Juga apakah bentuk, ide dan gagasan karya sastra tersebut, sama atau berbeda dengan karya sastra sebelumnya.
Dalam perjalanannya, kesusateraan Indonesia modern oleh Nugroho Notosusanto, di awali ketika lahirnya nasionalitas Indonesia secara resmi. Sebab sesudah itu, karya cipta sastra sudah bersifat nasional Indonesia, bukan cipta daerah lagi (Pradopo, 2008:6). Berdirinya organisasi pergerakan kebangsaan Indonesia yakni Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908, secara resmi diakui nasionalitas Indonesia. Namun demikian nyatanya pada tanggal tersebut belum ada karya sastra (modern) yang bersifat nasional Indonesia (Pradopo, 2008:7). Antara tahun 1908 hingga 1920, terdapat dua buah karya sastra yang menggunakan bahasa nasional yakni bahasa Indonesia meskipun secara resmi bahasa Indonesia diakui pada tanggal 28 Oktober 1928. Teeuw mencatat dua buah karya tersebut ialah roman karya Mas Marco Kartodikromo yang berjudul Student Hidjo terbit pada 1919 dan Hikayat Kadiroen karya Semaun yang terbit pada tahun 1920 (Teeuw; 1978:35,33 via Pradopo, 2008:7). Pasca dari itu, karya-karya sastra didominasi oleh sastrawan Balai Pustaka yang diawali dengan roman Azab dan Sengsara oleh Merari Siregar pada tahun 1921 (Pradopo, 2008:7).
Jauh sebelum itu sebenarnya terdapat karya sastra yang sudah agak modern yakni karya-karya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi yaitu Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jedah atau Hikayat Abdullah. Penyebutan nama penulis, pengangkatan masalah sosial kemasyarakatan, penyebutan angka tahun dan cara deskripsi menyerupai bentuk otobiografi, telah menempatkan karya itu sebagai karya yang sudah memperlihatkan ciri-ciri karya modern. H.B Jassin menempatkan karya-karya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi sebagai karya masa transisi yaitu karya yang menghubungkan kesusateraan Indonesia lama ke kesusateraan Indonesia modern. (Maman Mahayana, 2007:4).

bagian II silahkan klik disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selalu ada tempat berkomentar untuk anda