Senin, 27 Juli 2009

Berkaca Pada Pengamen

Barang siapa lupa sejarah maka dia lupa ingatan


Sebuah kalimat bijak ini ku temukan di sela-sela trotoar melalui bibir yang bisa mengeluarkan suara merdu. Seorang anak jalanan yang hidup mengamen. Sebagian besar orang menganggap bahwa kumpulan pengamen adalah kumpulan orang-orang yang pemalas. Ketika mereka mulai mengalunkan lagu dan menengadahkan tangan maka tak jarang yang banyak tersenyum nyinyir. Namun, satu hal yang banyak orang tidak pernah mengerti dari mereka adalah sikap mereka tak semuanya dan selamanya seperti yang kita pikirkan.

Saat gemulai angin mencium bibir lampu merkuri yang berbaris di jalanan belahan tapak tiga Ternate, dua orang pengamen datang dan mengalunkan lagu. Aku dan tiga orang temanku terpana. Pertemuan itu berakhir dengan duduk-duduk dan berdiskusi. Satu hal yang tak pernah saya temukan dari para pengamen, mereka adalah kumpulan Sarekat Pengamen Ternate yang memikirkan bangsa. Tidak hanya mengamen untuk cari makan. Tujuan mereka tak hanya mondar-mandir kesana-kemari, melainkan mereka berharap penuh akan terciptanya dan kembali terwujudnya budaya lokal/kearifan lokal (local wisdom) yang kian tersingkir. Caranya adalah berusaha memunculkan kembali lagu daerah dan budaya daerah.

Diskusi itu semakin asyik, bahkan meski tengah malam lewat, kami tetap duduk-duduk dan menikmati suasana pantai yang semakin tertindas oleh daratan karena terus ditimbun untuk memperluas lahan mendirikan bangunan. Sarekat Pengamen Ternate (SPT) anak cabang dari SPI berdiri sejak tahun 2008 lalu. Satu hal lagi yang mengejutkan dari mereka bahwa dalam dua bulan terakhir mereka melakukan pengajaran secara non-formal kepada anak-anak jalanan. Lebih dari itu,mereka sering mendapat pukulan dari SatpolPP yang sering mengusir pedagang kaki lima. Mereka mencoba membantu para pedagang kaki lima yang kebanyakan telah berumur. “ itulah konsekwensinya” kata Apul, pria gagah yang memilih jalan hidupnya dalam komunitas marginal tersebut.
Rasa yang dimiliki para pengamen ini patut di beri penghargaan yang luar biasa dari orang-orang yang masih memiliki rasa simpati dan memiliki mimpi membangun bangsa. SPT sangat berharap bisa tetap berjuang membantu rakyat bahkan hingga titik darah penghabisan. Dan tanpa dibayar sepeserpun.! Dalam perjuangannya, SPT hingga sekarang sedang berusaha membangun/menyewa sebuah tempat untuk sanggar dan sekretariat. Beberapa hasil kreative dari teman-teman SPT seperti sablon kaos dan lain-lain tidak bisa berkembang karena kendala tersebut.

Satu sisi kehidupan manusia yang sangat luar biasa. Mereka bisa dinilai lebih mulia dari para pejabat yang hanya mampu dalam konsep. Mereka terlibat langsung tanpa meminta bayaran. Mereka merasakan langsung bagaimana sengsaranya tanpa meminta tunjangan dan mobil dinas. Bahkan sebaliknya mereka sering mendapat perlakuan yang tidak baik. Namun, mereka tetap optimis. Setidaknya bisa sedikit-demi sedikit memulihkan kembali budaya lokal yang kian terpendam oleh kecongkakan modernitas.

Minggu, 26 Juli 2009

Benarkah Sekolah Membuat Masa depan Cerah?

Membicarakan hal yang satu ini mungkin tidak akan habis-habisnya. Ya, dengan keadaan yang ada sekarang ini, ditandai dengan demo di sejumlah tempat yang pada dasarnya menuntut pendidikan sekolah murah. Lebih dari itu, apakah memang kemudian seribu janji pendidikan itu mampu diwujudkan dalam dunia nyata?

Pendidikan dalam bahasa Yunani berasal dari kata padegogik yaitu ilmu menuntun anak. Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare, yakni : membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan atau potensi anak. Dalam bahasa Jawa, pendidikan berarti panggulawentah (pengolahan - Red), mengolah, mengubah kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran, kemauan dan watak, mengubah kepribadian sang anak. Dari pengertian-pengertian dan analisis yang ada maka bisa disimpulkan bahwa pendidikan adalah upaya menuntun anak sejak lahir untuk mencapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi alam beserta lingkungannya.

Apakah pendidikan di Indonesia memperhatikan permasalahan detail seperti ini? Inilah salah satu kesalahan terbesar metode pendidikan yang dikembangkan di Indonesia. Pendidikan kita sangat tidak memperhatikan aspek afektif (merasa), sehingga kita hanya tercetak sebagai generasi-generasi yang pintar tapi tidak memiliki karakter-karakter yang dibutuhkan oleh bangsa ini. Sudah setengah abad lebih Indonesia merdeka, dan setiap tahunnya keluar ribuan hingga jutaan kaum intelektual. Tapi tak kuasa mengubah nasib bangsa ini. Maka pasti ada yang salah dengan sistem pendidikan yang kita kembangkan hingga saat ini.

Pendidikan adalah sebuah proses memanusiakan manusia. Jika aspek merasa dalam diri jiwa pendidik dan yang didik itu berkembang, maka akan pasti menjdai manusia seutuhnya. Tapi kenyataannya tidak demikian. Ratusan manusia yang menjadi pejabat adalah orang-orang yang terdidik. Tapi dari sekian ratus orang yang terdidik tersebut, berapa orang yang memiliki rasa?

Lebih dari itu, meskipun pendidikan sekolah di negeri ini memberikan plot anggaran terbesar negara, apakah mampu membuat generasi muda kita memiliki masa depan yang cerah? Segalanya dalam hidup manusia itu dipengaruhi paradigma berpikir seseorang. Jika paradigma itu tidak berubah maka hidupnya juga akan seperti itu-itu saja. Tiga abad lebih kita dijajah dan kita mewarisi mental budak. Bahkan hingga kini tetap saja kita mau menjadi budak. Meskipun pendidikan menghasilkan intelektual-intelektual, nyatanya tetap saja memiliki paradigma berpikir bahwa sekolah adalah sebuah jalan untuk mencari pekerjaan yang lebih baik dan dapat menghasilkan pemasukan agar dapat hidup lebih sejahtera.

Hal ini seharusnya disikapi secara serius oleh para ahli pendidikan. JUga tak terkecuali orang-orang yang mendidik. Mental manusia Indonesia harus dirubah. Paradigma berpikir juga harus mutlak untuk dirubah. Jika tidak demikian, maka pendidikan sekolah tidak akan mampu menjamin masyarakat indonesia menjadi masyarakat yang cerdas dan bermental untuk menjadi "tuan".

Teks Berjalan

Perjalanan ngelantur kesana-kemari melalui situs yang satu ke situs yang lainnya emang terkadang bisa menemukan sebuah keberuntungan. Salah satunya ialah seperti tulisan di atas postingan saya ini. Tulisannya bergerak naik turun.

Teks seperti diatas postingan saya ini namanya adalah teks "marquee". Ini saya dapat dari sini.. Beliau adalah blogger dan untuk mengembangkan ilmunya tersebut, saya copas artikel beliau yang mengupas cara untuk membuat marquee atau teks berjalan/bergerak.

Caranya seperti ini:

Marquee ini bisa di buat dengan menggunakan tag <marquee>...<marquee>.

Atribut yang sering di gunakan adalah :

BGCOLOR="warna" --> Untuk mengatur warna background (latar belakang) teks

DIRECTION="left/right/up/down" --> Mengatur arah gerakan teks

BEHAVIOR="scroll/slide/alternate" --> Untuk mengatur perilaku gerakan

Scroll --> teks bergerak berputar
Slide--> teks bergerak sekali lalu berhenti
Alternate --> teks bergerak dari kiri kekanan lalu balik lagi ( bolak-balik bo)

TITLE='pesan" --> Pesan akan muncul saat mouse berada di atas teks

SCROLLMOUNT="angka" --> mengatur kecepatan gerakan dalam pixel, semakin besar angka semajin cepat gerakannya.

SCROLLDELAY="angka" --> Untuk mengatur waktu tunda gerakan dalam mili detik

LOOP="angka|-1|infinite" --> Mengatur jumlah loop

WIDTH="lebar" --> Mengatur lebar blok teks dalam pixel atau persen

Agar lebih jelas akan saya sertakan contohnya :

Contoh marquee dari gerakan :

<MARQUEE align="center" direction="right" height="200" scrollamount="2" width="30%">

marquee dari kanan ke kiri

</MARQUEE>

hasilnya :


marquee dari kanan ke kiri


ganti kata "left" dengan keinginan anda yaitu bisa : left, up, down .

Contoh marquee dari perilaku gerakan :

&alt;MARQUEE align="center" direction="left" height="200" scrollamount="3" width="70%" behavior="alternate">

marquee menurut perilaku

&alt;/MARQUEE>>

Hasilnya:



marquee menurut perilaku




untuk mmodel yang lainnya silahkan klik saja disini. disini. jangan lupa disini

Silahkan dicoba.....semoga sukses

Pendidikan=Jalan menuju perbudakan?

Tahun ajaran baru telah dimulai. Ribuan orang berbondong-bondong menuju instansi pendidikan baik formal maupun non-formal. Hal itu kiranya sudah biasa dikarenakan kebutuhan pendidikan di zaman kekinian adalah hal yang primer. Namun terdapat beberapa hal yang menarik yang perlu dikaji ulang tentang pendidikan dan tujuannya.

Pendidikan adalah sebuah proses. Proses tersebut tidaklah mudah dan cepat. Butuh waktu bertahun-tahun. Dari sekian ribu orang yang berbondong-bondong masuk dalam instansi pendidikan, ada berbagai macam tujuan. Bahkan juga ada yang sekedar iseng dan cari teman. Namun, sebenarnya ada hal yang lebih luar biasa dibalik tujuan pendidikan tersebut.

Pendidikan adalah sebuah proses memanusiakan manusia. Disebut demikian karena dalam proses menjalani pendidikan, terdapat berbagai hal yang wajib dipelajari. Yang paling utama tentunya mengembangkan ilmu pengetahuan untuk membuat peradaban manusia lebih cemerlang.

Ironisnya, dalam realita banyak orang yang memasuki instansi pendidikan lebih banyak yang memiliki tujuan untuk mengejar pekerjaan. Lebih ironis lagi, instansi pendidikan dimana para pengajarnya adalah orang terdidik, sangat jarang mau merubah paradigma berpikir siswa/mahasiswanya. Akibatnya, hal ini menjadikan pendidikan hanyalah sebuah proses ajang untuk menuju sebuah masa perbudakan baru dengan cara yang lebih baru pula.

Maka dari itu, paradigma berpikir siswa/mahasiswa harus bisa dirubah oleh orang-orang yang mengurusi instansi pendidikan terkait. Dengan hal tersebut, maka peradaban yang akan tercipta di masa akan datang akan menciptakan sebuah peradaban yang cemerlang. Memang, adalah hal yang mustahil jika semua orang bisa menjadi orang kaya atau bos. namun setidaknya tujuan pendidikan tetap terarah bukan untuk menjadi seorang budak melainkan menjadi tuan bagi dirinya sendiri.

Sabtu, 25 Juli 2009

Demokrasi atau Democrazy

Dunia Politik adalah lumpur-lumpur hitam (Soe Hok Gie)

Sebenarnya demokrasi itu apa sih...?



Ketika sebuah nurani berbicara dan kemudian menginginkan sesuatu hal yang diinginkannya, maka nurani mencoba mentransfer keinginannya ke otak kemudian berjalan dan terjadilah tindakan. Seringkali tindakan ini gagal ketika terdapat suatu halangan. Entah itu rasa takut, atau memang usaha yang putus di tengah jalan atau juga karena terpengaruhi oleh sesuatu hal sehingga tidak jadi mengerjakan keinginan tersebut.

Suatu perjalanan bangsa yang berharap menjadi bangsa yang luar biasa, itulah Indonesia. Demokrasi di pilih sebagai salah satu jalan agar Indonesia maju dengan segala keadilan yang diharapkan muncul dari demokrasi. Tapi apakah demokrasi itu seutuhnya memberi keadilan dan mampu membuat bangsa Indonesia ini maju?

Demokrasi.... Dari rakyat, Untuk rakyat dan Oleh rakyat.

Kesalahan demokrasi di Indonesia

Suatu bentuk keuasaan pemerintahan telah dipilih melalui jalur demokrasi. Rakyat memilih seorang calon legislatif/presiden dalam setiap pemilu. tapi harus diingat, calon legislatif/presiden tersebut bukan dipilih karena rakyat meminta. Tetapi mereka mengusulkan dirinya. Inilah kesalahan pertama tindakan demokrasi kita. Rakyat diberikan pilihan dari orang-orang yang tidak ditunjuk oleh rakyat (KPU). Setelah itu rakyat tidak dibenarkan untuk tidak memilih calon (Fatwa haram golput dari MUI). Apakah ini dari rakyat? Lalu apakah ini juga demokrasi?

Kesalahan kedua ialah, para calon legislatif/presiden memaksa rakyat untuk memilih mereka. Bagaimana tidak? Jika memang rakyat diberikan pilihan sesuai nuraninya, maka calon legislatif/presiden tidak usah sibuk membuat team sukses yang kenyataanyya team sukses juga hanya menginginkan keberuntungan jika calon mereka terpilih. Aksi hasut-menghasut hingga saling meruntuhkan citra lawan politik sepertinya hal biasa. Jelasnya, ini bukanlah demokrasi dan tidak memberikan nurani rakyat untuk memilih.

Kesalahan ketiga ialah berjuta-juta bahkan miliaran uang di alirkan kepada rakyat. Namun aliran uang yang dinamakan "bantuan" itu meminginkan balasan yakni memilih orang yang memberi bantuan. Bayangkan jika memang hanya sekedar sosialisasi dan mempersilahkan rakyat untuk memilih sesuai dengan nuraninya, uang tersebut malah bisa digunakan untuk bantuan yang tulus untuk mengatasi kemiskinan negeri yang kian menggila.

Pentas demokrasi negeri ini kotor. Culas. Busuk. Tidak berperikemanusiaan. malah demokrasi tidak akan pernah bisa membaut bangsa ini semakin penuh dengan kebijakan yang adil. Demokarasi negeri ini tak murni. Para kaum politikus selalu membodohi rakyat dan mengeksploitasi rakyat. mereka tidak murni ingin mensejahterakan rakyat. Demokrasi bangsa ini bukanlah demokrasi namun democrazy. Demo + Crazy, sebuah pertunjukan kegilaan yang benar-benar hilang sayarafnya. Tidak waras.

Rabu, 22 Juli 2009

Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari)


Ekstrem Kanan Langganan Orde Baru
Peristiwa Malari di Senen Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974.

Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.

Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.

Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan.

Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Jabatan Asisten Pribadi Presiden dibubarkan. Kepala Bakin Soetopo Juwono digantikan oleh Yoga Sugama.

Moertopo dan Peristiwa Malari
Dalam peristiwa Malari Jenderal Ali Moertopo menuduh eks PSII dan eks Masyumi atau ekstrem kanan adalah dalang peristiwa tersebut. Tetapi setelah para tokoh peristiwa Malari seperti Syahrir dan Hariman Siregar diadili, tidak bisa dibuktikan bahwa ada sedikitpun fakta dan ada seorangpun tokoh eks Masyumi yang terlibat di situ. Belakangan ini barulah ada pernyataan dari Jenderal Soemitro (almarhum) dalam buku Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jendral Soemitro dan Peristiwa Malari bahwa ada kemungkinan kalau justru malahan Ali Moertopo sendiri dengan CSIS-nya yang mendalangi peristiwa Malari

Ekstrem Kanan Langganan Orde Baru

Inginnya ekonomi tumbuh, syaratnya stabilitas, caranya represif, alatnya tuduhan ekstrem kanan.

Orde Baru adalah orde yang bertekad melaksanakan pembangunan untuk nantinya menjadi ideologi pembangunan sebagaimana ditulis Adam Scwarz dalam A Nation in Waiting. Pada masa awal orde baru ada dua kubu dalam hal kebijakan strategi pembangunan. Kubu pertama adalah kubu yang menekankan pada pemerataan, dimotori oleh Hatta. Seperti kita ketahui Hatta dengan gagasan koperasinya menitikberatkan pembangunan pada aspek pemerataan.

Yang kedua adalah kubunya Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, beserta kawan-kawannya yang lulusan University of California Berkeley, sehingga sementara kalangan pengamat menjulukinya sebagai 'mafia Berkeley'.

Kubu kedua ini sangat mengagungkan pembangunan ekonomi melalui pertumbuhan dengan harapan nantinya akan terjadi trickle down effect (efek menetes/merembes ke bawah) alias otomatis terjadi pemerataan.

Maka gagasan dari kubu pertama tidak dipakai, kalaupun dipakai hanyalah sebagai 'pelengkap penderita' saja. Gagasan kedua dipakai karena para lulusan Berkeley itu dipercaya penuh oleh Presiden Soeharto untuk mengobati luka-luka masa Orde Lama. Apalagi menurut Assar Lindbeck pada bukunya, Kritik atas Ekonomi Kiri Baru terbitan LP3ES 1988, saat mereka kuliah di Berkeley yang trendy adalah kecenderungan pemikiran perkembangan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, yang dikritik dengan keras oleh aliran 'Kiri Baru'.

Yang dipakai oleh pemerintah orde baru pada awalnya (dan bahkan sampai sekarang walaupun kadar penekanannya sudah agak sedikit berbeda) adalah gagasan dari kubu kedua. Alasannya, menurut Nurcholish Madjid dalam Politik Pembangunan, "Kalau kita hendak membagi-bagikan kue pembangunan harus kita buat dulu kuenya."

Pemerintah orde baru beralasan bahwa ekonomi negara sangat morat-marit. Inflasi mencapai 600%, utang negara sangat bertumpuk. Untuk itu maka perlu secepatnya diadakan stabilisasi ekonomi dengan tiang penyangga utamanya berupa stabilitas politik. Maka setiap potensi konflik diredam sedemikian rupa secara terus-menerus agar teredam kekuatan laten yang disebut pemerintah orde baru sebagai ekstrem kiri dan ekstrem kanan.

Terhadap ekstrem kiri, yang dilakukan orba berupa: pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya sekaligus peryataan sebagai organisasi terlaraang, dan pelarangan terhadap ajaran Marisme-Leninisme di seluruh wilayah RI.

Terhadap golongan Islam, tindakannya malah lebih banyak lagi. Secara jelas Yudi Latif dalam buku Mencari Islam (Mizan 1990) membeberkan langkah-langkah yang merugikan umat Islam yaitu:

1- Penolakan rehabilitasi Masyumi; 2-Dikeluarkannya peraturan Mendagri No 12/1969 dan PP No 6/1970 tentang monoloyalitas pegawai negeri yang mengakibatkan 'marginalisasi' pegawai negeri dari partai Islam; 3-Pemaksaan fusi dengan UU No 3/1973; 4-Terbitnya UU perkawinan 1974 yang merupakan de-islamisasi kaidah-kaidah kemasyrakatan karena banyak bertentangan dengan hukum-hukum perkawinan Islam; 5-Terbentuknya MUI sebagai perwakilan tunggal umat Islam tahun 1975 yang lebih sering merupakan alat legitimasi pemerintah; 6-Dilegitimasinya aliran kepercayaan dan P4 melalui Tap MPR No II/1978 yang merupakan usaha pemerintah untuk memperlemah potensi alternatif umat Islam.

Presiden Soeharto sejak awal menjalankan suatu model kepemimpinan sangat khas, yang merupakan hasil penjumlahan dari: (1) Cara berpikirnya yang sangat Jawa; (2) Kapabilitasnya yang tak terbantahkan sebagai seorang perwira militer yang cakap dan kaya pengalaman lapangan; (3) Kecanggihannya sebagai aktor politik dalam melakukan manajemen kekuasaan.; sebagaimana ditulis Eep Saefulloh Fatah dalam Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia.

Otaknya Ali Moertopo
Otak pemberangusan gerakan politik Islam adalah Jenderal Ali Moertopo. Langkah-langkahnya yang cukup ketahuan dan transparan cukup banyak. Penjelasan berikut ini adalah sebagian dari padanya.

Pada tahun 1970 Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) di bawah pimpinan Djarnawi Hadikusumo telah 'digarap' atau dibajak oleh J Naro dengan 'diotaki' oleh Jendral Ali Moertopo.

Kemudian pada tahun 1971 PSII di bawah pimpinan M Ch Ibrahim 'digarap' oleh Drs Syarifudin Harahap, juga diotaki oleh Ali Moertopo. Berita pembajakan ini dimasukkan ke dalam berita TVRI, yaitu media massa resmi pemerintah Indonesia. (Bincang-bincang dengan Dahlan Ranuwihardjo).

Selanjutnya dalam peristiwa Malari Jenderal Ali Moertopo menuduh dan memfitnah umat Islam. Dikatakan bahwa eks PSI dan eks Masyumi atau ekstrem kanan adalah dalang peristiwa tersebut. Tetapi setelah para tokoh peristiwa Malari seperti Hariman Siregar diadili, tidak ada sedikitpun fakta dan tak ada seorangpun eks Masyumi terlibat di situ.

Belakangan ini barulah ada pengakuan dari Jenderal Soemitro (almarhum) dalam buku Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jendral Soemitro dan Peristiwa Malari bahwa justru Ali Moertopo sendiri dengan CSIS-nya yang mendalangi peristiwa Malari.

Kemudian pada sidang pengadilan Ismail Pranoto di Jawa Timur pada tahun 1978, yang dituduh membentuk komando jihad, terbukti yang terungkap di pengadilan bahwa kegiatan Ismail Pranoto adalah atas perintah dan biaya Jenderal Ali Moertopo dalam rangka membentuk Front Pancasila Anti Komunis.

Dengan terungkapnya masalah ini tim pembela meminta kepada majelis Hakim untuk menampilkan Jenderal Ali Moertopo sebagai saksi. Tetapi majelis hakim menolaknya, sehingga Ismail Pranoto dijatuhi hukuman seumur hidup. Dengan peristiwa ini, jelas bahwa Jendral Ali Moertopo telah menjebak Ismail Pranoto (bekas DI/TII) untuk kemudian dihancurkan.

Aksi Ali Moertopo berikutnya adalah pada peristiwa Lapangan Banteng 1982. Ali yang ketika itu menjadi Mentri Penerangan dalam briefingnya di hadapan pimpinan teras Deppen dua hari setelah kejadian telah menuduh dan memfitnah umat Islam yang lagi-lagi disebut ekstrem kanan. Ali Moertopo menuduh Yusuf Hasyim dari PPP dan Ali Sadikin dari Petisi 50.

Tetapi setelah pengadilan memeriksa para terdakwa yang dituduh terlibat peristiwa Lapangan Banteng terbukti tidak ada satupun anggota PPP atau petisi 50 yang terlibat, bahkan menjadi saksipun tidak.

Lanjutannya Benny Moerdani
Pasca 1982 peran Ali Moertopo digantikan oleh Benny Moerdani. Pada tahun 1983-1985 Benny melakukan penggarapan terhadap ummat Islam dengan memuluskan perintah Soeharto yaitu bahwa semua ormas dan parpol harus berasaskan Pancasila.

Garapan pertama Benny adalah PII. Organisasi pelajar ini memiliki sejarah harum di masa lalu. Beberapa kadernya menghiasi kepemimpinan umat Islam tahun '90-an.

Gagasan asas tunggal Pancasila mengharuskan mereka menjadikan organisasi PII berjuang di bawah tanah. Sebab tahun 1985 PII merencanakan kongres yang isinya menolak Pancasila sebagai asas, tetapi kongres itu tidak mendapat izin.

Pada tanggal 17 Juli 1987, tanggal terakhir pendaftaran ulang ormas-ormas, PII tidak ikut didaftarkan. Maka sejak saat itu PII menjadi organisasi ilegal atau organisasi bawah tanah. PII juga dicap sebagai ekstrem kanan oleh pemerintah Orde Baru.

'Kakak'-nya PII yaitu HMI juga digarap oleh Benny Moerdani. Hanya bedanya HMI tidak menjadi organisasi ilegal melainkan pecah menjadi dua. HMI Dipo 16 yang menerima Pancasila sebagai asas dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) yang menolak Pancasila.

Penerimaan asas tunggal Pancasila oleh HMI berjalan alot. Pada mulanya, dalam persiapan Kongres 1983 sudah ada utusan-utusan pemerintah yang alumni HMI atau penyebutan oleh anggota HMI saat itu adalah 'antek-antek pemerintah' dan 'hilang ke HMI-annya' contohnya adalah Menpora Abdul Gafur.

Terjadilah konflik antara anggota HMI dan alumni HMI. Benih-benih konflik ini semakin bersemai dan terbuka dalam kongres berikut di Padang, tahun 1986. Menyadari potensi reaktif HMI yang radikal, pemerintah mulai menggarap anggota-anggotanya yang dianggap 'akomodatif'.

Melalui berbagai 'lobbying' yang dilakukan oleh Abdul Gafur dan Akbar Tanjung, mereka berhasil meyakinkan HMI untuk mencari 'jalan selamat'. Dalam sidang pleno PB HMI 1983/1985 tanggal 5 April 1985 di Ciloto Jawa Barat, HMI menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas.

Keputusan ini kemudian dikukuhkan dalam kongresnya di Padang tahun 1986. Pelaksanaan kongres ini sempat tertunda beberapa bulan karena adanya conditioning oleh pemerintah. Kemudian tokoh-tokoh akomodatif diberi lampu hijau oleh pemerintah dan tokoh-tokoh garis keras seperti Abdullah Hehamahua dan Eggy Sudjana diberi lampu merah.

Terpilihlah Saleh Khalid sebagai ketua umum PB HMI. Persoalan tidak berhenti sampai di situ karena keputusan ini ditolak oleh banyak sekali anggota HMI. Mereka berpendapat bahwa penetapan Pancasila sebagai asas tunggal diterima tidak melalui kongres. Mereka yang menolak ini membentuk 'HMI Tandingan' berupa HMI MPO dan mencoba 'mengadili' pengurus HMI 'bentukan' pemerintah. Sejak saat itulah muncul 'pengurus tandingan' pada banyak cabang HMI di Indonesia. Sejak saat itu pula HMI MPO disebut ekstrem kanan.

Tahun 1984 juga meletus peristiwa Tanjung Priok. Selain kondisi masyarakat yang memang sangat tidak puas terhadap pemerintah dan dipanasi-panasi oleh penceramah-penceramah yang keras, unsur rekayasa dan provokasi juga terlihat (walaupun masih misteri sampai saat ini).

Yang menarik adalah peristiwa sesudahnya yaitu kasus 'lembaran putih' yaitu surat protes yang dikeluarkan oleh Petisi 50 dan ditandingi oleh penceramah-penceramah yang keras. 'Lembaran putih' ini dijadikan alasan oleh Benny Moerdani untuk menangkap penceramah-penceramah keras itu seperti AM Fatwa, AQ Jailani, Tasrif Tuasikal, HM Sanusi, HR Dharsono, Oesmany El Hamidy, Mawardi Noor, Tonie Ardhie, dan lain-lain. Mereka juga dicap sebagai ekstrem kanan. Menurut Panji Masyarakat yang terbit pasca persidangan, persidangan ini mirip dagelan.

Beberapa bulan setelah peristiwa Tanjung Priok, tanggal 4 Maret 1985, timbul peristiwa peledakan dua kantor BCA yang mengakibatkan 200 orang tewas. Di malam Natal dua gereja diledakkan di Malang Jawa Timur. Sebulan kemudian tepat pada tahun baru 1986, 9 Stupa Candi Borobudur diledakkan.

Hal yang lucu adalah yang dituduh sebagai pelaku pemboman ini antara lain Hussein Al Habsyi, seorang tuna netra. Bagaimana mungkin seorang tuna netra yang berjalan atau berlari sebelum bom meledak saja susah (apalagi di Borobudur yang banyak sekali tangganya), dituduh meledakkan bom. Pelaku pemboman ini juga dicap ekstrem kanan.

Pada tahun 1987 di Aceh muncul barisan jubah putih dipimpin Teuku Bantaqiyah. Gerakan ini mencita-citakan 'tegaknya Islam sedunia'. Bulan Mei 1987, dengan berjalan kaki di desa Blang Beuradeh, Beutung Aseuh, Aceh Barat, mereka membunuhi orang Cina yang dijumpai di jalan serta memaksa tutup warung-warung yang buka di siang hari. Pada waktu itu adalah bulan puasa. (Tempo, 18 Februari 1989, hal 26). Mereka juga dicap Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) dan ekstrem kanan.

Kemudian terjadi peristiwa Lampung. Gerakan ini meletus ke permukaan pada bulan Februari 1989, dengan membunuh beberapa anggota ABRI. Sedangkan di pihak rakyat Lampung jatuh 27 korban termasuk Anwar alias Warsidi. Pemerintah menyebut pelaku peristiwa ini sebagai Gerakan Pengacau Keamanan dan ekstrem kanan.

Lantas muncul kasus Daerah Operasi Militer di Aceh dan berubah menjadi arena 'killing field'. Pemerintah menyebut Hasan Tiro dan kawan-kawannya sebagai GPK dan ekstrem kanan.

Mengapa Soeharto mempertahankan orang-orang seperti Ali Moertopo dan Benny Moerdani? Agar Soeharto dianggap pahlawan yang bisa mengerem tindakan Benny dan Ali. Terbukti kemudian umat Islam yang menjadi korban langsung atau tidak langsung sampai sekarang kebencian itu tidak ditujukan kepada Soeharto melainkan kepada Ali Moertopo dan Benny Moerdani, apalagi setelah Soeharto naik haji dan takbiran. (Agung Pribadi)

Naskah Asli disini

Sastra Melayu Klasik

Sejarah Sastra Melayu klasik berawal pada abad 16 masehi. Sejak itu gaya bahasa yang digunakan tidak banyak mengalami perubahan. Dokumen pertama yang dikenali menggunakan bahasa melayu adalah surat dari Raja Ternate,
Ket: Kedaton Ternate
Sultan Abu Hayat kepada seorang raja di Portugal yang bernama raja Joao III yang bertanggalkan tahun 1521 Masehi.
Ket: Raja Joao III Portugal

Saat ini tercatat terdapat tujuh bentuk dari sastra melayu. Gurindam, Hikayat, Karmina, Pantun, Syair, Seloka dan Talibun.

Gurindam

Gurindam adalah bentuk puisi Melayu lama yang terdiri dari dua larik (baris), mempunyai irama akhir yang sama dan merupakan satu kesatuan yang utuh. Larik atau baris pertama berisikan semacam soal atau perjanjian, sedangkan bait kedua adalah jawaban soal atau akibat dari perjanjian tersebut. Di kenal juga Gurindam dua belas yang di tulis oleh Raja Ali Haji dai Kepulauan Riau. Berikut ini contoh gurindam

Pabila banyak mencela orang
Itulah tanda dirinya kurang


Dengan ibu hendaknya hormat
Supaya badan dapat selamat

Untuk Gurindam dua belas, silahkan klik disini

Hikayat

Hikayat berasal dari bahasa Arab hikayah yang berarti kisah, cerita, atau dongeng. Pengertian mengenai hikayat ini bisa ditelusuri dalam tradisi sastra Arab dan Melayu lama. Dalam sastra Melayu lama, hikayat diartikan sebagai cerita rekaan berbentuk prosa panjang berbahasa Melayu, yang menceritakan tentang kehebatan dan kepahlawanan orang ternama dengan segala kesaktian, keanehan dan karomah yang mereka miliki.

Pantun

Pantun merupakan sejenis puisi yang terdiri atas 4 baris bersajak a-b-a-b atau a-a-a-a. Dua baris pertama merupakan sampiran, yang umumnya tentang alam (flora dan fauna); dua baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut.
Contoh Pantun:
Wahai ananda cahaya mata
Orang berpantun jangan dikata
Didalamnya ada intan permata
Jikalau faham jadi mahkota


Karmina

Karmina sebuah bentuk pantun yang terdiri dari dua baris; baris pertama sampiran dan baris kedua isinya. Karmina disebut juga pantun kilat; mirip gurindam.

Contoh :
Gendang gendut tali kecapi
Kenyang perut senanglah hati
Pinggan tak retak, nasi tak dingin
Tuan tak hendak, kami tak ingin

Ciri-ciri :
1. 2 baris per bait
2. sajak a a
3. 4-5 kata atau 8-12 suku kata per baris/larik


Syair

Syair ialah jenis puisi melayu lama yang berangkap dan setiap rangkapnya mengandung 4 baris ayat yang kesemuanya membawa makna isi dan maksud. Keempat-empat baris itu pula berirama sama.
Syair sering membawa makna isi yang berhubung dengan kias ibarat. Sindiran , nasihat, pengajaran, agama dan juga berasakan sejarah atau dongeng.


Seloka

Seloka merupakan bentuk puisi Melayu Klasik, berisikan pepetah maupun perumpamaan yang mengandung senda gurau, sindiran bahkan ejekan. Biasanya ditulis empat baris memakai bentuk pantun atau syair, terkadang dapat juga ditemui seloka yang ditulis lebih dari empat baris.

contoh seloka 4 baris:

anak pak dolah makan lepat,

makan lepat sambil melompat,

nak hantar kad raya dah tak sempat,

pakai sms pun ok wat ?


contoh seloka lebih dari 4 baris:
Baik budi emak si Randang
Dagang lalu ditanakkan
Tiada berkayu rumah diruntuhkan
Anak pulang kelaparan
Anak dipangku diletakkan
Kera dihutan disusui


Talibun


Talibun ialah puisi berangkap tentang perincian sesuatu objek atau peristiwa, dan umumnya terdapat dalam genre lipur lara.

Sejenis puisi Melayu berbentuk bebas (ikatan puisi bebas)

Digunakan sebagai sisipan / selingan dalam cerita lipur lara


Dari:
Wikipedia Online
Melayu Online

Selasa, 21 Juli 2009

Tragedi Tanjung Priok, Jakarta, 1984


Tengkorak dan tulang korban peristiwa Tanjung Priok bernama Tukimin di Mengkok Sukapura, RSCM Jakarta 7 September 2000.[TEMPO/Awaluddin R; 31D/299/2000; 2000/11/18].



Senin, 10 September 1984. Seorang oknum ABRI beragama Katholik, Sersan Satu Hermanu, mendatangi mushala As-Sa'adah untuk menyita pamflet berbau 'SARA'. Namun tindakan Sersan Hermanu sangat menyinggung perasaan ummat Islam. Ia masuk ke dalam masjid tanpa melepas sepatu, menyiram dinding mushala dengan air got, bahkan menginjak Al-Qur'an. Warga marah dan motor motor Hermanu dibakar. Buntutnya, empat orang pengurus mushala diciduk Kodim. Upaya persuasif yang dilakukan ulama tidak mendapat respon dari aparat. Malah mereka memprovokasi dengan mempertontonkan salah seorang ikhwan yang ditahan itu, dengan tubuh penuh luka akibat siksaan.

Rabu. 12 September 1984. Mubaligh Abdul Qodir Djaelani membuat pernyataan yang menentang azas tunggal Pancasila. Malamnya, di Jalan Sindang, Tanjung Priok, diadakan tabligh. Ribuan orang berkumpul dengan semangat membara, disemangati khotbah dari Amir Biki, Syarifin Maloko, Yayan Hendrayana, dll. Tuntutan agar aparat melepas empat orang yang ditahan terdengar semakin keras. Amir Biki dalam khotbahnya berkata dengan suara bergetar, "Saya beritahu Kodim, bebaskan keempat orang yang ditahan itu sebelum jam sebelas malam. Jika tidak, saya takut akan terjadi banjir darah di Priok ini". Mubaligh lain, Ustdaz Yayan, bertanya pada jamaah, "Man anshori ilallah? Siapa sanggup menolong agama Allah ?" Dijawab oleh massa, "Nahnu Anshorullah ! Kami siap menolong agama Allah !" Sampai jam sebelas malam tidak ada jawaban dari Kodim, malah tank dan pasukan didatangkan ke kawasan Priok.

Akhirnya, lepas jam sebelas malam, massa mulai bergerak menuju markas Kodim. Ada yang membawa senjata tajam dan bahan bakar. Tetapi sebagian besar hanyalah berbekal asma' Allah dan Al-Qur'an. Amir Biki berpesan, "Yang merusak bukan teman kita !"
Di Jalan Yos Sudarso massa dan tentara berhadapan. Tidak terlihat polisi satupun, padahal seharusnya mereka yang terlebih dahulu menangani (dikemudian hari diketahui, para polisi ternyata dilarang keluar dari markasnya oleh tentara). Massa sama sekali tidak beringas. Sebagian besar malah hanya duduk di jalan dan bertakbir. Tiba-tiba terdengar aba-aba mundur dari komandan tentara.

Mereka mundur dua langkah, lalu ... astaghfirullah ! Tanpa peringatan terlebih dahulu, tentara mulai menembaki jamaah dan bergerak maju. Gelegar senapan terdengar bersahut-sahutan memecah kesunyian malam. Aliran listrik yang sudah dipadamkan sebelumnya membuat kilatan api dari moncong-moncong senjata terlihat mengerikan. Satu demi satu para syuhada tersungkur dengan darah membasahi bumi. Kemudian, datang konvoi truk militer dari arah pelabuhan, menerjang dan melindas massa yang tiarap di jalan. Dari atas truk, orang-orang berseragam hijau tanpa nurani gencar menembaki. Tentara bahkan masuk ke perkampungan dan menembak dengan membabi-buta. Tanjung Priok banjir darah.

Pemerintah dalam laporan resminya yang diwakili Panglima ABRI, Jenderal L. B. Moerdani, menyebutkan bahwa korban tewas 'hanya' 18 orang dan luka-luka 53 orang. Namun dari hasil investigasi tim pencari fakta, SONTAK (SOlidaritas Nasional untuk peristiwa TAnjung prioK), diperkirakan sekitar 400 orang tewas, belum terhirung yang luka-luka dan cacat. Sampai dua tahun setelah peristiwa pembantaian itu, suasana Tanjung Priok begitu mencekam. Siapapun yang menanyakan peristiwa 12 September, menanyakan anak atau kerabatnya yang hilang, akan berurusan dengan aparat.
Sebenarnya sejak beberapa bulan sebelum tragedi, suasana Tanjung Priok memang terasa panas. Tokoh-tokoh Islam menduga keras bahwa suasana panas itu memang sengaja direkayasa oleh oknum-oknum tertentu dipemerintahan yang memusuhi Islam. Terlebih lagi bila melihat yang menjadi Panglima ABRI saat itu, Jenderal Leonardus Benny Moerdani, adalah seorang Katholik yang sudah dikenal permusuhannya terhadap Islam. Suasana rekayasa ini terutama sekali dirasakan oleh ulama-ulama di luar tanjung Priok. Sebab, di kawasan lain kota Jakarta sensor bagi para mubaligh sangat ketat. Namun entah kenapa, di Tanjung Priok yang merupakan basis Islam itu para mubaligh dapat bebas berbicara bahkan mengkritik pemerintah, sampai menolak azas tunggal Pancasila. Adanya rekayasa dan provokasi untuk memancing ummat Islam dapat diketahui dari beberapa peristiwa lain sebelum itu, misalnya dari pembangunan bioskop Tugu yang banyak memutar film maksiat diseberang Masjid Al-Hidayah. Tokoh senior seperti M. Natsir dan Syafrudin Prawiranegara sebenarnya telah melarang ulama untuk datang ke Tanjung Priok agar tidak masuk ke dalam perangkap. Namun seruan ini rupanya tidak sampai kepada para mubaligh Priok. Dari cerita Syarifin Maloko, ketua SONTAK dan mubaligh yang terlibat langsung peristiwa 12 September, ia baru mendengar adanya larangan tersebut setelah berada di dalam penjara. Rekayasa dan pancingan ini tujuannya tak lain untuk memojokkan Islam dan ummatnya di Indonesia.

Diringkas dan diedit ulang dari Majalah Sabili dan Tabloid Hikmah

Sumber asli di sini

PESAN BUNG KARNO KEPADA PKI : YO SANAK YO KADANG ….

(Oleh :A. Umar Said)
Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO (14)

(Catatan : tulisan ini bebas untuk diteruskan kepada siapa saja, dan juga bebas untuk digunakan selayaknya)



Judul ini menyangkut masalah besar!. Karena, isinya berkaitan erat dengan masalah nasional (dan juga internasional) yang telah mengakibatkan : digulingkannya Presiden Sukarno, dibunuhnya jutaan orang tidak bersalah, berkuasanya Orde Baru/GOLKAR selama lebih dari 32 tahun, kemunduran kebudayaan berfikir secara beradab di Indoneia, kerusakan moral besar-besaran di kalangan “atas”, dibunuhnya demokrasi, dimandulkannya Pancasila, dan keterpurukan negara dan bangsa seperti yang sama-sama kita saksikan dewasa ini.

Sejarah Bung Karno dan sejarah PKI akan tetap menjadi masalah yang penting untuk terus direnungkan, dikaji, dan dibicarakan. Sebab sejak terjadinya G30S dalam tahun 1965, banyak hal-hal yang masih gelap atau digelapkan, baik yang berkaitan dengan Bung Karno maupun PKI. Sekarang ini, makin banyak orang yang makin yakin bahwa selama lebih dari 32 tahun, Orde Baru/GOLKAR beserta pendukung-pendukung setianya, telah menyajikan dua masalah ini secara sefihak, secara tidak fair atau secara tidak jujur. Selama itu, baik Bung Karno maupun PKI telah dijadikan bulan-bulanan serangan oleh “sejarah versi resmi” Orde Baru. Dan selama puluhan tahun itu pula Orde Baru/GOLKAR melarang, mencegah, atau mematahkan, setiap usaha untuk menyajikan kedua persoalan ini secara berbeda dengan “versi resmi” itu.



Begitu hebatnya serangan Orde Baru/GOLKAR lewat indoktrinasi yang menyesatkan ini, yang dilakukan puluhan tahun secara intensif, permanen dan menyeluruh, sehingga citra Bung Karno dan PKI menjadilah serba negatif di benak banyak orang. Sekarang ini, setelah terbukti bahwa sistem politik Orde Baru adalah begitu buruk, dan setelah praktek-praktek para pendirinya dan para pendukung setianya ternyata jelas telah menimbulkan begitu banyak kerusakan terhadap negara dan bangsa, banyak orang mulai bertanya-tanya mengapa Bung Karno telah digulingkan dan mengapa pula PKI ditindas. Dan, bahkan orang mulai berfikir, bukankah karena Bung Karno digulingkan dan PKI ditindas itulah, maka, sebagai akibatanya, keadaan negara dan bangsa menjadi kacau, ruwet, dan penuh kebobrokan seperti sekarang ini?.

AMANAT PENDERITAAN RAKYAT JANGAN DIKHIANATI

Sejarah perjuangan politik Bung Karno menunjukkan dengan jelas bahwa ia sejak berusia duapuluhan tahun, sudah menampilkan diri sebagai seorang nasionalis Islam yang kiri, seorang pejuang anti-penjajahan yang revolusioner, yang menggunakan analisa marxis dalam memandang persoalan-persoalan masyarakat dan perjuangan bangsa. Tulisannya yang terkenal “Nasionalisme, Islam dan Marxisme” dalam majalah Suluh Indonesia Muda , ketika ia masih berumur 26 tahun, adalah bukti tentang kecemerlangan fikirannya. Dalam sejarah para perintis kemerdekaan kita, ia sangat menonjol sekali dalam hal ini.

Oleh karena itu, dapatlah kiranya dimengerti bahwa sebagai seorang pemuda revolusioner, ia menghargai semangat pembrontakan PKI dalam tahun 1926 melawan pemerintahan kolonial Belanda. Setelah menjadi kepala negara pun, dalam berbagai kesempatan ia juga telah menyebutkan betapa besar pengorbanan orang-orang yang dipenjarakan atau dibuang ke Tanah Merah (Boven Digul) karena perjuangan mereka itu, demi Amanat Penderitaan Rakyat. Antara lain ia pernah berpesan sebagai berikut :

“ Kita tidak bisa tidak menyelanggarakan masyarakat adil dan makmur yang saya namakan Amanat Penderitaan Rakyat, oleh karena penderitaan Rakyat berpuluh-puluh tahun semua adalah perjuangan dan korbanan untuk mencapai cita-cita masayarakat adil dan makmur itu! Amanat adalah suatu titipan daripada Rakyat. Amanat ini harus kita setiai. Amanat ini tidak boleh kita khianati, oleh siapapun juga yang menamakan dirinya patriot Indonesia, pejuang Indonesia, Pengabdi Negara Republik Indonesia.

“Amanat Penderitaan Rakyat ini sudah tidak boleh kita ganggu gugat lagi, bahwa ia adalah satu kewajiban yang utama bagi kita. Ia tertulis sebenarnya di atas batu-batu nisan kuburannya pejuang-pejuang kita yang telah mangkat. Ia tertulis di dinding-dinding tembok penjara-penjara di mana pemimpin-pemimpin kita meringkuk bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun. Ia tertulis di pohon kayu di Boven Digul atau Tanah Tinggi Boven Digul. Ia tertulis di batu-batu yang di bawahnya terkuburlah pahlawan-pahlawan Revolusi. Hal ini tidak boleh kita tawar-tawar lagi. Ini adalah kewajiban kita semua” (Dikutip dari buku J.K. Tumakaka “Peralihan kekuasaan Soekarno, Soeharto, Habibi”, halaman 58, “Amanat Presiden pada musyawarah dinas Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan para Gubernur” ).

DUA KEKUATAN ANTI-KOLONIAL DAN ANTI-IMPERIALIS.

Dalam membaca sejarah PKI sejak dari lahirnya dalam tahun 1920 sampai 1965, nyatalah bahwa dalam menghadapi pemerintahan kolonial Belanda dan fasisme Jepang, PKI merupakan salah satu di antara kekuatan yang bersikap paling konsekwen. Kemudian, sesudah tahun 1949, PKI merupakan kekuatan aktif dalam menentang hasil-hasil Konferensi Meja Bundar (dengan Belanda), menentang RIS, melawan perjanjian Mutual Security Act (dengan AS). Sampai akhir 1959, PKI juga memberikan sumbangan yang penting, dalam perjuangan nasional melawan gerakan-gerakan separatis kontra-revolusioner yang dilakukan oleh Dewan Banteng, Dewan Garuda, Dewan Gajah, Dewan Manguni, dan PRRI-Permesta.

Karena perjuangan nasional melawan berbagai gerakan kontra-revolusioner inilah maka banyak anggota PKI beserta simpatisan-simpatisannya telah dibunuhi atau ditangkapi secara besar-besaran di Sumatera, di Kalimantan atau Sulawesi. Pembunuhan terhadap para tahanan PKI di kamp Situjuh (Sumatera Barat) oleh pasukan Dewan Banteng/PRRI adalah hanya sebagian kecil saja dari korban di kalangan PKI yang disebabkan oleh berbagai gerakan kontra-revolusi itu Supaya lebih jelas : ketika partai Masyumi dan PSI secara terang-terangan berdiri di belakang pembrontakan kontra-revolusioner PRRI-Permesta (yang disokong CIA), maka PKI telah tampil sebagai kekuatan yang ikut aktif mempertahankan keselamatan Republik Indonesia.

Sejak ditetapkannya Manifesto Politik sebagai Haluan Negara oleh MPRS (1959), PKI juga merupakan salah satu kekuatan pendukungnya yang utama, seperti halnya dalam perjuangan “Ganyang Malaisia”, dan perjuangan untuk merebut kembali Irian Barat. Singkatnya, sejarah perjuangan PKI adalah sejarah panjang perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme. Sejarah ini diselingi oleh satu peristiwa, yang dinamakan peristiwa Madiun (ada yang menamakan “pembrontakan” Madiun), yang asal-usulnya atau latar-belakang sebenarnya masih tetap dipersoalkan oleh berbagai fihak.

Seiring dengan perkembangan situasi yang demikian itulah, ketokohan Bung Karno sebagai kepala negara yang menggenggam garis politik revolusioner anti-imperialis makin menonjol juga. Politiknya untuk melikwidasi sisa-sisa kolonialisme Belanda berakhir dengan dibubarkannya Union dengan Kerajaan Belanda dalam tahun 1956. Konferensi Bandung (1955) telah menampilkannya sebagai tokoh terkemuka internasional anti-imperialisme. Politiknya tentang hubungan dengan RRT dan permusuhan dengan Taiwan telah membikin marah AS. Sejak lahirnya RRT, Bung Karno memperlihatkan simpatinya yang besar terhadapnya, dengan memperjuangkan keanggotaan RRT ke dalam PBB.

Dari berbagai dokumen dan analisa yang dibuat oleh ahli-ahli Barat sendiri, nyatalah sekarang bahwa Bung Karno telah dijadikan “sasaran inceran” Perang Dingin sejak permulaan tahun 50-an. Usaha untuk menggoyang pemerintahan Sukarno menjadi lebih jelas lagi dengan adanya dukungan kekuatan asing kepada gerakan-gerakan di daerah-daerah, sehingga SOB (Keadaan Negara dalam Bahaya) terpaksa diumumkan dalam tahun 1958. SOB inilah yang ternyata digunakan oleh militer (TNI-AD) untuk memperkuat kedudukan mereka dalam perpolitikan di Indonesia dan juga di bidang ekonomi (yang kemudian makin terus membesar, sampai sekarang!). Pertentangan antara sebagian golongan pimpinan militer dan Bung Karno mulailah makin terasa sejak itu.

Singkatnya, dari perjalanan sejarah semasa periode itu maka jelaslah bahwa garis politik revolusioner Bung Karno makin lama makin mendapat dukungan dari PKI yang sudah sejak lama juga merupakan kekuatan revolusioner penentang imperialisme (terutama AS). Gabungan dua kekuatan revolusioner ini berhadapan dengan kekuatan imperialis yang bersekutu dengan kekuatan kontra-revolusi dan anasir-anasir anti-Sukarno di dalamnegeri (termasuk sebagian golongan Islam dan juga sebagian pimpinan militer).

Perjuangan untuk merebut Irian Barat dan juga perlawanan terhadap projek politik Inggris “Malaysia” (waktu itu!), ditambah dengan perang di Indo-Cina dan kemudian dibentuknya poros Jakarta-Pnompenh- Hanoi-Peking-Pyongyang, membikin makin “berbahayanya” garis politik Sukarno bagi kepentingan strategi global AS di kawasan Asia dan Asia Tenggara. Sebaliknya, Bung Karno yang makin dimusuhi oleh dunia Barat (dengan AS sebagai kepalanya), makin membutuhkan adanya sokongan yang kuat dari pendukung- pendukung politiknya. Di antara pendukung Bung Karno itu terdapatlah PKI yang selama ini memang sudah selalu secara aktif menyokong garis politik anti-imperialisnya.

PKI ADALAH YO SANAK YO KADANG ….

Dari itu semua, dapatlah kiranya dimengerti bahwa Bung Karno, sebagai seorang pemimpin nasionalis revolusioner, melihat pada PKI sebagai sekutunya yang konsekwen dalam melawan imperialisme dan meneruskan revolusi 17 Agustus. Sesuai dengan gagasan-dasarnya sejak muda, maka ia menganggap perlunya disatukannya PKI dalam perjuangan bersama bangsa. Bahkan, lebih dari itu. Bung Karno melihat pada PKI sebagai mitra perjuangan. Untuk bisa sama-sama menghayati fikiran-fikirannya tentang hal ini, maka perlulah kita membaca pidatonya di depan resepsi Kongres ke-6 PKI (1959) yang berjudul “Yo sanak yo kadang, malah yen mati aku sing kélangan” (Ya saudara, ya keluarga, kalau mati saya ikut kehilangan). Bahkan, kalau kebetulan bisa mendengarkan kasetnya, maka kita akan dapat benar-benar “menikmati” (dan menghormati) gagasan-gagasan besarnya.

Dalam pidatonya itu (yang makan waktu hampir satu jam) antara lain dikatakannya :

“Ya, saudara-saudara, barangkali sayalah satu-satunya Presiden sesuatu negara di dunia ini, negara yang bukan dinamakan negara Sosialis, yang menghadiri satu Kongres Partai Komunis (tepuktangan lama). Nah, betapa tidak saudara-saudara! Betapa tidak hendak saya hadiri, kan saudara-saudara juga orang Indonesia, warganegara Indonesia, pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia, pejuang-pejuang menentang imperialisme yang membela kemerdekaan Indonesia ini (tepuktangan yang gemuruh).

“Saudara-saudara adalah utusan-utusan daripada sebagian Rakyat Indonesia, saudara-saudara adalah sama-sama orang-orang bangsa Indonesia. Malah saya akan berkata dalam bahasa Jawa, saudara-saudara itu "yo kadang, yo sanak, malah yen mati aku sing kelangan” (tepuktangan gemuruh lama) (halaman 376, Bintang Merah Nomor Istimewa Kongres Nasional ke-6 PKI, September-Oktober 1959).

Ungkapan Bung Karno seperti tersebut di atas, pastilah disimpan sebagai kenang-kenangan yang indah oleh banyak anggota-anggota PKI, simpatisan-simpatisannya, dan juga oleh mereka yang walaupun non-PKI tetapi menghayati keagungan gagasannya tentang persatuan revolusioner bangsa, yaitu persatuan Nasakom. Dan pastilah mereka juga senang (dan bangga) ketika membaca ucapan Bung Karno yang berikut:

“Dan tatkala saya mengadakan perjalanan beberapa hari yang lalu ke Aceh, diikuti oleh beberapa dutabesar …., dengan gembira saya melihat bahwa di mana-mana tempat, baik di daerah Aceh, maupun di daerah Riau, maupun di Kalimantan, PKI-lah salahsatu tenaga yang menyambut dengan baik (tepuktangan lama), menyambut dengan baik dan konsekwen kembali kita kepada Undang-undang Dasar 45, dan menyambut dengan baik persatuan nasional, menyelenggarakan persatuan nasional itu dengan sehebat-hebatnya (tepuktangan gemuruh). Oleh karena itu, saudara-saudara, pantas saya mengucapkan penghargaan saya kepada Partai Komunis Indonesia di dalam hal ini;”

BUNG KARNO DAN PKI : API REVOLUSI

Pidato Bung Karno yang dimuat dalam Bintang Merah tahun 1959 tersebut mengungkap banyak hal yang menarik, umpamanya : penjelasannya tentang diri-pribadinya sendiri yang merupakan “campuran” antara 3 sifat, ja nasionalis, ya sosialis, ya muslimin. Juga tentang filosofi materialisme, tentang materialisme historis, tentang sosialisme, tentang masyarakat adil dan makmur, tentang faktor keagamaan dalam masyarakat Indonesia. Yang amat menarik adalah satu bagian di mana ia ungkapkan persamaan antara dirinya dengan PKI sebagai api revolusi, yang berbunyi :

“Saya berkata di hadapan khalayak ramai di Kutaraja itu, saya merasa diri saya sebagai sepotong kayu dalam satu gundukan kayu api-unggun, sepotong kayu daripada ratusan atau ribuan potong kayu di dalam api-unggun besar yang sedang menyala-nyala. Saya menyumbang sedikit kepada nyalanya api-unggun itu, tetapi sebaliknyapun saya dimakan oleh api-unggun itu, saudara-saudara. Menyumbang kepada api-unggun tetapi ,juga dimakan oleh api-unggun. Dimakan api-unggun. Tidakkah sebenarnya kita semua berasa demikian, saudara-saudara?!

"Saudara-saudara, terutama sekali hai saudara-saudara dari PKI, saudara-saudara masing-masing menyumbang kepada api-revolusi, tetapi saudarapun dimakan oleh api revolusi itu. Dimakan dalam arti bahwa saudara ikut serta dalam dinamikanya revolusi ini habis-habisan, bahwa saudara merasa diri saudara mendapat impetus, mendapat kekuatan tenaga, mendapat penggerak jiwa daripada revolusi yang apinya sekarang sedang berkobar-kobar dan menyala-nyala itu;” (halaman 378).

Saudara-saudara pembaca. Ketika mendengarkan suara Bung Karno dari kaset itu, maka penulis merenungkannya dengan rasa haru yang campur aduk. Alangkah bagusnya perumpamaan yang diambilnya, dan alangkah dalamnya makna pesan yang dilontarkannya. Dan ketika mengingat tindakan-tindakan para pendiri Orde Baru/GOLKAR terhadap Bung Karno dan juga kepada PKI di masa yang lalu, maka muncullah kutukan dan hujatan dalam hati. Terlalu, api revolusi yang begitu indah itu telah dipadamkan!!! Lagi pula, oleh orang-orang yang hanya patut dicampakkan dalam keranjang-sampah sejarah bangsa! Apa yang mereka lakukan selama 32 tahun sudah membuktikannya. Dan, kerusakan-kerusakan di segala bidang yang kita saksikan sekarang ini, adalah saksinya juga.

Bagian lain pidatonya yang bagus dan juga penting adalah yang menyoroti betapa besarnya peran kaum buruh dan tani dalam perjuangan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur. Mari sama-sama kita dengar suara Bung Karno tentang soal ini:

“Kita harus malahan membuat kaum buruh klasse bewust, sadar akan klasnya (tepuktangan). Oleh karena, justru di dalam penyelenggaraan masyarakat adil dan makmur kaum buruh dan kaum tanilah yang harus menjadi motor (tepuktangan). Kaum buruh dan kaum tani soko guru, saudara-saudara, kaum buruh dan kaum tani dalam masyarakat adil dan makmur, kaum buruh dan kaum tani yang jumlahnya 90% daripada Rakyat Indonesia. Mereka ini sokoguru daripada masyarakat adil dan makmur. Mereka ini sokoguru masyarakat sosialis à la Indonesia.” (halaman 383).

* *

Dari berbagai pernyataan Bung Karno, seperti yang disajikan di atas saja, kita sudah bisa mendapat gambaran, bahwa Bung Karno sudah berjuang puluhan tahun demi kepentingan rakyat, demi kemerdekaan nasional, dan demi persatuan bangsa. Ia juga telah dengan gigih berjuang melawan imperialisme dan neo-kolonialisme, bukan hanya untuk membela kepentingan rakyat Indonesia saja, tetapi juga untuk kepentingan rakyat-rakyat Asia-Afrika dan rakyat negeri-negeri lainnya. Dan untuk itulah maka ia mempunyai sikap yang bersahabat dengan PKI, yang mendukung politiknya yang revolusioner dan anti-imperialis.

Karena itulah, maka sejarah akan membuktikan lebih jelas lagi kepada rakyat Indonesia bahwa yang melakukan pengkhianatan terhadap Republik Indonesia bukanlah Bung Karno dan PKI, melainkan kontra-revolusi yang bernama ORDE BARU/GOLKAR, yang disokong oleh kekuatan asing beserta sekutu-sekutunya di dalam negeri. Sekarang saja sudah terbukti bahwa kontra-revolusi besar-besaran yang dikepalai Suharto dkk inilah yang telah merusak Republik kita selama lebih dari 32 tahun, dan yang juga telah mengkhianati Amanat Penderitaan Rakyat, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Sejarah bangsa kita akan mencatat terus, bahwa kehancuran kekuatan revolusioner yang mendukung Bung Karno dan PKI, bukanlah suatu “kemenangan” bangsa dan rakyat Indonesia, tetapi justru sebaliknya. Dihancurkannya kepemimpinan Bung Karno dan dilumpuhkannya kekuatan pendukung utamanya (PKI) adalah suatu kerugian besar sekali bagi kehidupan bangsa secara keseluruhan. Kemenangan kekuatan bathil ini, terbukti hanya mendatangkan keburukan secara besar-besaran, dan, dalam jangka waktu yang amat panjang pula.

Sejarah akhir-akhir ini menunjukkan bahwa dengan disingkirkannya Bung Karno dan dilumpuhkannya PKI, maka perjuangan rakyat Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur merasakan satu “kehilangan” yang amat besar. Oleh karena itu pantaslah kiranya kalau, selama ini, banyak orang mengatakan kepada “roh” Bung Karno, yang masih selalu hidup di kalbu mereka, “Bung Karno, yo sanak yo kadang, yen mati aku sing kélangan”.

Paris, 16 Mei 2001 (sumber asli di sini)

Sabtu, 18 Juli 2009

Selamat Datang Di Kepulauan Rempah-Rempah

Oleh : Van Prey



Rasanya begitu kagum ketika saat pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Ternate, salah satu Pulau yang menjadi pusat rempah-rempah sekaligus menjadi central pemerintahan Provinsi Maluku Utara. Provinsi yang pernah mencetak rekor tentang Pilgub terlama di Indonesia, dan bahkan juga di dunia ini, memiliki bergudang-gudang landscape yang tak membosankan mata untuk menatap dan memandang jauh hingga garis cakrawala. Gunung Gamalama, satu-satunya gunung di pulau Ternate dan masih aktif ini memiliki pesona tersendiri. Telah banyak orang yang melakukan pendakian untuk mencari sensasi kesegaran dan kepuasan batin akan indahnya alam Pulau Seribu Benteng ini dari puncaknya.

Pulau yang pernah menjadi tujuan para negeri kolonial pada abad 16 ini, sebagian besar masyarakatnya beragama Islam. Bahkan, banyak penduduk setempat yang mengklaim bahwa Islam hadir pertama kali di Bumi Pertiwi adalah di Ternate. Sultan Mudafar Sjah adalah Sultan yang memimpin kerajaan Ternate sekarang ini. Usaha Sultan Mudafar Sjah untuk mengembalikan citra sebagai tanah rempah-rempah dengan berbagai object wisata patut diacungi jempol. Salah satu usaha tersebut adalah acara Lagu Gam yang mana acara tersebut adalah acara untuk memperingati hari ulang tahun Sultan dan dilakukan Pesta Rakyat selama kurang lebih dua minggu. Dengan menampilkan berbagai acara tradisional dikolaborasikan dengan kesenian modern, menjadikan acara Legu Gam memiliki daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Biasanya acara ini dilaksanakan sekitar bulan April.

Ferdinand Magelhaens, yang melakukan pelayaran dari Lisabon, Spanyol dengan misi 3 G: Glory, Gospel, Gold melewati Panama kemudian samudera Atlantik dan menuju Filipina. Sampai disini beliau meninggal, dan dilanjutkan oleh Sebastian Del Cano hingga mendarat di Pulau Tidore. Pulau yang bersebelahan dengan Pulau Ternate. Diantara Pulau Ternate dan Tidore, terdapat sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Maitara. Pulau Maitara juga menyuguhkan berbagai keindahan alam yang eksotik. Dengan pantai pasir putih, puncak gunungnya yang bisa ditempuh hanya beberapa jam, juga keanehan tentang kebanyakan sumur yang airnya berasa asin. Salah satu kesulitan bagi masyarakat Maitara adalah air bersih yang hingga kini masih menjadi kendala.
Kedatangan Spanyol kemudian diikuti oleh Portugis yang mendarat di Ternate. Di sini, Potugis membuat beberapa benteng. Benteng Nostra Senhora del Rosario atau Benteng Kastella atau Benteng Gamlamo yang konon dikabarkan benteng terbesar di Asia Tenggara. Benteng yang dibangun pada tahun 1522 oleh Gubernur Jenderal Antonio de Brito yang kemudian dilanjutkan oleh Garcia Hendrigues. Pada tahun 1530 diteruskan oleh Gastro Pereira dan diselesaikan oleh Gubernur Jenderal ke-8, Jorge de Castro tahun 1540. Benteng yang dibangun kurang lebih 18 tahun ini, kini nasibnya memprihatinkan. Tidak terawat dan 90% bagiannya telah hilang. Dan di benteng ini pula seorang Sultan Ternate, Yaitu Sultan Khairun dibunuh oleh salah satu prajurit Portugis yang bernama Antonio Pimental atas suruhan dari Gubernur Jenderal Lopez de Mosquito. Sultan Khairun diundang untuk menghadiri jamuan makan malam sambil berunding. Namun rupanya ia malah dibunuh secara keji dengan cara ditikam dari belakang. Kejadian itu berlangsung pada tanggal 28 Februari 1570. Hingga kinipun sejarah masih simpang siur tentang jenazah beliau. Banyak penduduk setempat mengatakan bahwa Sultan Babullah, anaknya Sultan Khairun menjemput jenazah ayahnya sambil menari soya-soya (tari perang) dengan pasukan. Sumber yang lain mengatakn bahwa jenazah Sultan Khairun di cincang dan dibuang ke laut. Dalam Benteng ini, berdiri sekolah Teologia Pertama di Asia Tenggara.

Akibat dari pembunuhan atas Sultan Khairun, Sultan Babullah terus menerus melakukan serangan terhadap Portugis dan akhirnya Portugis berhasil di pukul mundur meninggalkan Ternate untuk selama-lamanya.

Tahun 1606, Spanyol menduduki Ternate sampai tahun 1663. pada tanggal 1 April 1606, Spanyol mengambil 153 meriam yang terbuat dari tembaga, peninggalan Portugis. Setelah portugis Pergi, Belanda tiba dan menguasai Ternate.
Benteng ini terhitung luar biasa karena ketebalan tembok dari 40 cm sampai dengan 270 cm. Tembok yang memiliki tebal 40 cm digunakan sebagai penyekat ruangan dan 175 cm sampai dengan 275 cm digunakan sebagai dinding luar.

Upacara Adat Kololi Kie Kota Ternate - Maluku Utara - Indonesia




A. Selayang Pandang

Jika berkesempatan mengunjungi Kota Ternate, pulau seluas 5.681,30 km2 yang kini menjadi Ibu Kota Provinsi Maluku Utara, ada baiknya Anda menyaksikan Upacara Adat Kololi Kie. Menurut bahasa setempat, Kololi Kie memiliki arti “keliling gunung”. Jadi, upacara adat ini merupakan ritual mengelilingi sebuah gunung di Pulau Ternate, yaitu Gunung Gamalama. Gunung Gamalama merupakan gunung aktif dengan ketinggian 1.715 meter di atas permukaan laut (dpl) yang menjadi ikon pulau penghasil cengkeh ini.

Menurut situs bkpmd.malutprov.go.id, Upacara Adat Kololi Kie biasanya diadakan apabila terdapat gejala alam yang menandai bakal meletusnya Gunung Gamalama, yang dapat mengganggu ketenangan masyarakat Ternate. Namun pada perkembangannya, selain untuk menghormati keberadaan Gunung Gamalama, upacara adat ini juga menjadi ritual pihak kesultanan dalam menghormati leluhur-leluhur mereka.

Ancaman yang ditimbulkan oleh sebuah gunung terkadang dapat melahirkan satu tradisi yang khas. Menurut Andaya (dalam Reid, 1993: 28-29), di beberapa kawasan di Asia Tenggara, termasuk di daerah Maluku Utara, gunung dianggap sebagai representasi penguasa alam. Oleh sebab itu, keberadaan gunung selalu dihormati dengan cara melakukan ritual tertentu. Sebuah gunung dianggap mewakili sosok yang mengagumkan sekaligus mengancam, sehingga diperlukan upacara penghormatan supaya keberadaannya menjamin ketentraman, keamanan, dan keberadaan masyarakat di sekitarnya. Dalam perspektif ini, Upacara Kololi Kie merupakan upaya untuk menjauhkan masyarakat Ternate dari berbagai ancaman bencana.

B. Keistimewaan

Upacara Adat Kololi Kie dimulai dari jembatan kesultanan (semacam pelabuhan) yang dikenal dengan nama Jembatan Dodoku Ali. Sebelum rombongan sultan dan para pembesar kerajaan menaiki perahu masing-masing, Imam Masjid Sultan Ternate yang bergelar Jou Kalem akan membacakan doa keselamatan di jembatan ini. Usai berdoa, sultan diikuti para pembesar kerajaan serta para pemimpin soa (kampung) menaiki perahu masing-masing. Perahu sultan dan para pembesar kerajaan memiliki ukuran yang lebih besar dengan bentuk menyerupai naga dan dihiasi kertas serta bendera kebesaraan kesultanan. Sementara perahu-perahu yang lebih kecil (kora-kora) dinaiki oleh para kepala soa dan masyarakat umum.

Pelayaran perahu dimulai dengan mengelililingi perahu sultan sebanyak tiga kali. Setelah itu, dipimpin oleh perahu naga yang ditumpangi sultan, iring-iringan tersebut mulai mengelilingi Pulau Ternate melalui arah utara. Untuk meramaikan suasana, tiap perahu dilengkapi dengan berbagai alat musik, seperti tifa, gong, dan fiol (alat musik gesek). Dalam perjalanan mengililingi Gunung Gamalama, rombongan perahu akan berhenti di tiga tempat untuk melakukan tabur bunga dan memanjatkan doa. Ritual ini merupakan bentuk penghormatan terhadap para leluhur kesultanan.

Selain berhenti di tiga tempat, sultan juga akan dijamu dalam upacara Joko Kaha, yaitu upacara penyambutan yang dilakukan oleh masyarakat adat di tepi Pantai Ake Rica. Setelah perahu-perahu merapat di tepi pantai, sultan dan permaisuri akan turun untuk mencuci kaki, lalu disambut secara adat oleh para tetua desa dan disuguhi berbagai hidangan lezat, seperti nasi kuning, ayam bakar, serta ikan bakar. Upacara penyambutan rombongan ini diiringi oleh alunan berbagai alat musik pukul dan gesek tradisional. Suguhan ini menggambarkan pengakuan masyarakat Ternate terhadap kebesaran sultan dan kerajaannya.

Setelah menikmati hidangan yang ada, sultan dan permaisuri beserta rombongan lainnya melanjutkan pelayaran mengelilingi Gunung Gamalama. Selama perjalanan, peserta Kololi Kie akan memperoleh sambutan meriah dari masyarakat yang menyaksikan iring-ringan perahu dari tepi pantai. Tak hanya itu, pemandangan indah laut Ternate yang tenang, pulau-pulau kecil di sekitar Ternate, serta keanggunan Gunung Gamalama tak akan mudah dilupakan oleh mereka yang mengikuti pelayaran sakral ini. Perjalanan selama kurang lebih empat jam ini kemudian berakhir dan kembali ke Jembatan Dodoku Ali.


Masyarakat menunggu kedatangan rombongan perahu di Jembatan Dodoku Ali

Kololi Kie dilaksanakan dalam rangkaian acara Festival Legu Gam Moloku Kie Raha, yaitu pada bulan April menjelang ulang tahun Sultan Ternate (Sultan Mudaffar Sjah). Dalam festival ini, selain dapat mengikuti pelayaran Kololi Kie, wisatawan juga dapat menyaksikan berbagai pertunjukan kesenian, karnaval budaya, pameran kerajinan, serta berbagai perlombaan tradisional khas Maluku Utara.

C. Lokasi

Pelaksanaan Upacara Kololi Kie dimulai dari Jembatan Dodoku Ali, di depan Kedaton Sultan Ternate, Kota Ternate, Maluku Utara, Indonesia. Dari jembatan tersebut, upacara mengililingi Gunung Gamalama dimulai hingga kembali lagi ke tempat semula.

D. Akses

Untuk menuju Kota Ternate, wisatawan dapat menempuh perjalanan udara baik dari Ambon, Manado, Makassar, maupun dari Sorong menuju Bandara Sultan Babullah Ternate. Selain jalur udara, wisatawan juga dapat memanfaatkan pelayaran kapal-kapal Pelni dari berbagai pelabuhan di Nusantara yang merapat di Pelabuhan A. Yani Ternate. Selain pelabuhan A. Yani, ada dua pelabuhan lain di Kota Ternate yang melayani pendaratan kapal Ferry, yaitu Pelabuhan Fery serta Pelabuhan Bastiong. Dari bandara maupun pelabuhan laut, wisatawan dapat memanfaatkan angkutan kota atau taksi untuk sampai ke Jembatan Dodoku Ali atau halaman Kedaton Sultan Ternate, lokasi permulaan Upacara Adat Kololi Kie.

E. Harga Tiket

Wisatawan yang ingin mengikuti pelayaran Kololi Kie tidak dipungut biaya. Namun, untuk kepentingan pengaturan jumlah peserta dan kemudahaan koordinasi oleh panitia penyelenggara, ada baiknya sebelum pelaksanaan upacara wisatawan terlebih dahulu menghubungi panitia.

F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Kota Ternate memiliki berbagai obyek wisata alam, sejarah dan budaya yang beraneka ragam. Khusus untuk obyek wisata sejarah, Pulau Ternate dikenal sebagai salah satu pulau yang memiliki banyak benteng peninggalan kolonial. Oleh sebab itu, jika Anda memiliki waktu yang cukup untuk menjelajah pesona-pesona wisata tersebut, Anda tak perlu khawatir apabila membutuhkan akomodasi dan fasilitas penunjang, sebab di kota ini telah tersedia berbagai tipe penginapan, rumah makan (restoran), serta fasilitas perbankan.

Kebenaran, Kebatilan dan Persaudaraan dalam cerpen ”Satria Kurusetra” karya Sakti Wibowo

Oleh: Van Prey

Banyak yang menganggap bahwa khayalan sesungguhnya tidak berguna. Orang mengkhayal ketika akan beranjak tidur atau ketika mereka suntuk dan bosan dengan kegiatan di sekelilingnya. Tapi, di tangan sastrawan khayalan menjadi sebuah permata tersendiri. Mereka mampu mengolah sebuah khayalan menjadi sebuah dunia yang bersandingan dengan dunia nyata, dunia realitas. Memang, terkadang (bahkan sering) khayalan tidak masuk akal. Kadang ingin kembali ke masa lalu dengan memutar waktu atau ingin memutar bumi lebih cepat hingga sampai ke masa depan.
Adalah Satria Kurusetra, sebuah cerpen karangan Sakti Wibowo yang membawa kita berlayar menuju masa lalu. Dengan gaya penulisan yang mampu memikat pembaca, dia berusaha menampilkan rangkaian kata puitis dan tak lazim digunakan dalam bahasa sehari-hari.
“Lelaki itu menatap ke seantero luas padang bernanah. Dadanya mengepundan, tak kuasa lagi menahan sengalan berbaur perih yang menyayat-nyayat”
Paragraf pertama Sakti mampu membuat pembaca untuk terus mengikuti jalan cerita selanjutnya. Sakti mampu menanamkan rasa penasaran melalui rangkaian kata yang ia ciptakan. Cerita dengan latar Bharata Yudha (Pewayangan) ini, pada bagian awal menampilkan tokoh Arjuna yang gelisah, bingung dan bimbang akan pertumpahan darah yang terus terjadi. Di bagian ini, Sakti “menahan” ceritanya dengan memainkan alur yang menarik, jadi “memaksa” pembaca untuk tetap mengamati rangkaian huruf sambil membaca mengkuti jalan cerita. Segala kebimbangan, kegelisahan dan kebingungan yang menyelimuti Arjuna, ia tumpahkan dalam pengaduannya kepada Dzat yang memiliki dan memelihara alam semesta. Di bawah ini kutipan tentang bagaimana gelisah, bimbang dan bingungnya tokoh Arjuna:
“Masih berapa lagi darah yang harus membasah di padang ini Tuhan?”
Lalu monolog dari Arjuna selanjutnya:
”Tidak...aku bukanlah ksatria sejati sebagaimana kata orang-orang. Melainkan hanya segumpal daging kerdil, tak kuasa berdiri oleh tiupan angin beliung yang mementahkan segala rasa. O, bahkan oleh pertalian darah yang terhapus dalam kemelut yang bercabang-cabang”
Asal-muasal segala permasalahan mulai di tampilkan oleh Sakti Wibowo meskipun masih samar-samar. Gaya penulisan Sakti juga tak berubah. Tetap menggunakan rangkaian kata yang tak lazim dalam bahasa Indonesia sehari-hari. Ia juga mengkombinasikan dengan bahasa Pewayangan (Jawa) yang menampilkan pribadi Sakti sebagai pengarang cerita yang berasal dari Jawa. Sebuah ciri khas tersendiri. Namun, dalam pengkombinasi-an kalimat ini sebenarnya akan membingungkan pembaca. Bagi pembaca yang bukan orang Jawa, tentunya mereka akan kesulitan untuk memahami. Mereka akan menggaruk kepala karena kebingungan dengan kalimatnya. Tapi pelengkap atau penjelas bahasa berada pada akhir cerita sehingga pembaca bisa memahami meski agak repot harus membolak-balik lembaran teks. Berikut kutipan dialog antara Arjuna dan kakaknya, Basukarna, yang mengombinasikan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa:
”Mendekatlah Yayi....’kan kutimang sebelum palagan beradu sedan. Kita menanti detik yang luruh satu per satu dalam putaran waktu. Harum melati bidadari khayangan saat menabur jisim-mu perlaya. Sebagai puncak darma kita menuju kehidupan yang baka. Sungguh akan Kakang ceritakan tentang tangan yang menggeletar, kala sesama di larutkan cinta pada pembelaan dharma setia bawa-laksana. Seperti tirisnya biduk ringkih dilabuh di Begawan Yamuna. Kau akan berkata segalanya benar-benar tak terpilih. Kendati begitu bagi nahkoda tak ada laku lebih sesanti selain menempati lautnya............”
Saat hidup menjadi pilihan, maka harus diperjuangkan ketika telah memilih sebuah pilihan dalam menjalani jalan hidup. Kebenaran dan kebatilan yang melibatkan saudara sekandung, menjadikan segalanya berubah menjadi pilihan yang penuh dengan pertimbangan. Dan terkadang, kebenaran pun semakin samar-samar. Tingkah nepotisme yang dilakukan para orang-orang penting yang menduduki jabatan strategis di negara ini, seringkali membuat kebenaran menjadi samar-samar. Dan kebenaran semakin jauh untuk dapat dilihat.
Arjuna sebagai tokoh Protagonis (baik) harus melawan kakak kandungnya sendiri, Basukarna, yang menjadi tokoh Antagonis (jahat). Arjuna, panglima perang dari negeri Amarta yang puncak pimpinan dipegang oleh Kresna, dan Basukarna panglima perang dari negeri Astinapura yang dipimpin oleh Duryudana.
Arjuna tetap saja bingung dan berusaha mencari jalan keluar dengan meminta pertimbangan dari orang dekatnya, yakni ibunya. Ibunya hanya mampu memberi kata penjelas, namun tidak memberi jawaban atas pertanyaan Arjuna. Arjuna berada dalam keadaan dilematis dimana ia harus memilih salah satu yang tak terpilih. Berikut kutipan dialognya:
”Jika saya boleh memilih, Ibu?”
Wanita dihadapannya itu memintal tangisnya.
”Dia kakangmu, kendati kalian berlainan ayah.”
Dilematisasi yang melanda Arjuna, sang panglima perang dari Amarta, tentunya juga akan berpengaruh terhadap ideologi negara dan juga berpengaruh kondisi psikologis para prajuritnya. Seorang pemimpin harus bisa memberi keputusan tegas terhadap bawahannya yang sedang di landa kebimbangan. Kresna kemudian memberikan alasan kenapa Arjuna harus tetap berdiri membentengi negeri Amarta, yang menjunjung nilai-nilai kebenaran. Berikut kutipan perkataan dari Kresna:
”Tapi ia memihak kepada kekufuran, Kunthi. Basukarna menjadi senapati Astinapura. Kita tahu kezaliman yang telah dilakukan Negeri itu. Prabu Duryudana menyebarkan angkara, menginjak-injak hukum Tuhan. Bahkan lebih dari itu mentahbiskan diri sebagai Tuhan.”
Rasa berat ketika harus berhadapan langsung dengan saudara kandung di medan pertempuran masih menggelayuti hati Arjuna. Dia belum mampu menerima seutuhnya secara lapang dada. Namun, nasehat demi nasehat terus menerus di berikan oleh Prabu Kresna kepada Arjuna.
”Aku paham tentang kegalauanmu. Tapi pahamilah bahwa ini strategi Astinapura untuk melemahkanmu. Melemahkan Amarta, karena semenjak pengangkatanmu menjadi senapati alaga, tak ada perwira mumpuni Astina yang mampu berbuat banyak. Mereka kocar-kacir dan menelan kekalahan dari hari ke hari. Senapati satu per satu terjungkal perlaya di Kurusetra. Menghentikanmu hanya dengan Basukarna, sebab dia kakakmu. Sadarilah itu.”
Berbagai nasehat yang diberikan oleh Kresna kepada Arjuna, belum mampu meneguhkan hati Arjuna. Ia tetap saja bingung. Dan bahkan, dalam keadaan yang bingung tersebut, ia memutuskan untuk mengalah. Sepertinya kebenaran yang dipegang oleh negara Amarta tak mampu dijaga oleh Arjuna dikarenakan harus berhadapan langsung dengan saudara kandungnya sendiri. Meski Arjuna mencoba merasionalisasikan Basukarna dan Basukarna mengakui bahwa apa yang dilakukannya salah, namun Basukarna tetap berdiri membela Astinapura. Hal tersebut diakibatkan karena ketika Basukarna masih bayi dan kelahirannya tidak diinginkan oleh Ibundanya, Kunthi, ia ditolong oleh Duryudana, Raja Astinapura dan merawatnya hingga tumbuh menjadi seorang ksatria yang patut diandalkan serta jabatan yang strategis. Alasan dari Basukarna adalah balas budi. Dan menurutnya, hanya inilah yang mampu ia lakukan untuk membalas kebaikan Duryudana. Berikut kutipannya:
”Aduhai Kakanda...tidakkah sebaiknya kita tak berhadapan saja?”
Lelaki taruna itu tersenyum masygul. ”Mendekatlah, yayi...”
.................................
”Segalanya memang tak terpilih. Pun andaikan Kakang harus menunda menerima tampuk panglima. Hanya menunda waktu saat kita berhadapan di medan laga. Terkecuali mundur dari tugas itu. Sungguhlah itu tak mungkin, yayi...”
”Kenapa?”
Cerita selanjutnya adalah percakapan Arjuna dan Basukarna tentang asal-muasal kenapa Basukarna harus tetap membela Astinapura dan rasionalisasi Arjuna.
..........”Aku mengerti Amarta dipihak yang benar, karena mengusung nilai-nilai Illahi. Namun mengertilah bahwa Kakang tidak bisa ingkar telah banyak berhutang budi terhadap Prabu Duryudana. Saat Kakang harus mengecap derita dibuang ibunda Kunthi, Prabu Duryudana memungut Kakang dari kubangan dan membesarkan. Dia pula yang mengangkat Kakang dari sekedar gembel menjadi seorang punggawa istana. Kedudukan yang sebelumnya mimpi pun tak sanggup...”
”Tapi Kakang...bukankah Musa juga berhutang nyawa kepada Fir’aun? Namun itu tak menghalanginya untuk memerangi Fir’aun saat dia menolak menerima Tuhan.”
Proses merasionalisasikan Basukarna oleh Arjuna rupanya tidak mempan. Basukarna tetap bersikeras terhadap apa yang ia yakini. Dan ia memutuskan untuk tetap berperang melawan Amarta yang berarti juga melawan adik kandungnya sendiri. Tapi sesungguhnya, keras kepala Basukarna tidak seperti apa yang dibayangkan oleh Arjuna. Basukarna sebenarnya sudah sadar dengan apa yang diucap oleh Arjuna. Namun, demi harga diri sebagai seorang panglima perang, ia tetap bersikeras untuk melawan Amarta. Basukarna memiliki rencana sendiri yang telah ia siapkan dalam benak hatinya jika nanti menghadapi Arjuna di medan laga.
Di padang Kurusetra, tempat medan pertempuran berlangsung, Arjuna tak mampu melawan kakak kandungnya tersebut. Ia malah menyuruh Basukarna untuk membunuh dirinya. Ia tak sanggup. Ikatan saudara sekandung terlalu kuat tertanam dalam hati Arjuna. Tapi, sepertinya Basukarna telah mengetahui sifat adiknya. Ia memberikan kata-kata yang sanggup membuat hati Arjuna luluh oleh kebingungan dan memaksa emosi Arjuna meluap. Basukarna menghina Arjuna di tengah medan pertempuran sehingga membuat Arjuna terbakar. Basukarna memaksa Arjuna dengan kata-kata yang bernada menghina agar Arjuna mau bertarung. Dan saat emosi Arjuna meluap sehingga menyerang Basukarna, Basukarna hanya diam tak melawan. Ia sadar sepenuhnya bahwa dirinya salah. Namun demi harga diri, ia korbankan nyawanya agar negeri Amarta yang membawa nilai-nilai kebenaran tidak terlalu banyak jatuh korban. Balas budinya kepada Duryudana adalah dengan tetap berdiri mendukungnya dan pengorbanannya untuk tetap meloloskan kebenaran agar tetap tegak, ia persembahkan nyawanya di tangan adik kandungnya sendiri, panglima perang yang mengusung nilai-nilai kebenaran.
Berikut kutipannya:
Arjuna mementang gandewanya dengan rasa menyerpih-nyerpih. Di ujung lain Basukarna mematung dengan tatap sayu membiru.
.................................
”Aku tak mampu Kakang....”
Nun jauh diujung, Basukarna tertawa membahana. ”Haa...haa.... inikah senapati Amarta? Lelaki banci yang membawa duka cita dalam menuntaskan darma setia? O, Arjuna...dimana perwiramu?”
”Bunuh saja aku Kakang. Labih mudah rasanya,”
................................
”Bunuh saja aku, Kakang...”
................................ ”O, sebaiknya kau memakai kebaya saja, Arjuna. Malu rasanya Kakang berhadapan dengan lelaki banci hari ini. Tak kan kulupakan hinaan jika membunuhmu tanpa perlawanan.”
Hinaan yang dilontarkan oleh Basukarna mampu memancing Arjuna untuk berperang.
Gerigis amarah itu. Tiba-tiba Arjuna mementang gandewa, seribu luka menguasai dirinya. Peperangan harus berakhir, atau semakin banyak rakyat tak berdosa menumpuk jasad di Kurusetra. Batang panah melaju, membelah deru angin yang mengesiur perlahan.
Basukarna tersenyum wibawa. Ditantangnya mata runcing itu dengan dadanya yang membusung.......
..............................
”Kau bisa melakukannya, Dinda.....”. Sungging senyumnya dalam rengkuhan keikhlasan. ”Segalanya memang tak terpilih”
Arjuna memburu dengan lelehan air mata. ”Kakang.......”
Ia menubruk tubuh yang gontai itu. Menghujaninya dengan air mata yang membanjir.
”Kenapa kau diam saja, Kakang.....?
Bagai memakan buah simalakama. Pepatah itu yang patut ditujukan kepada Arjuna. Namun, rupanya pepetah itu lebih lagi patut ditujukan oleh Basukarna. Pengorbanannya, tak seorang pun tahu bahwa dia memilih membela kebenaran dan menggadaikan nyawanya ditangan adiknya sendiri, Arjuna.

Sastra Peranakan Tionghoa: Sastra Yang Tercecer

Oleh : Van Prey

(bagian I)

Perkembangan suatu bangsa dari waktu ke waktu pasti mengalami perubahan. Entah perubahan ke arah yang lebih maju atau sebaliknya dan bahkan ada juga yang stagnan. Rekaman sebuah perkembangan suatu bangsa, selain dapat dilihat melalui kaca mata sejarah dapat pula di lirik dari kesusateraan bangsa yang bersangkutan.
Perjalanan kesusateraan Indonesia dari klasik hingga modern adalah sebuah perjalanan bangsa Indonesia. Hal itu dikarenakan sastra tidaklah lahir dari sebuah kekosongan budaya. Ia ada akibat pengaruh kondisi dan situasi sosial, budaya, ekonomi, politik, agama bahkan juga ideologi yang berkembang dalam masyarakat yang berdiam di dalam bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu, ada sebuah studi dalam ilmu sastra yakni sosiologi sastra yang digunakan oleh para ahli untuk melihat kondisi masyarakat ketika karya sastra tersebut dibuat. Selain sastra tidak lahir dari sebuah kekosongan, keberadaannya juga sebagian dari cermin tingkah dan pola laku masyarakat.
Rene Wellek menuliskan bahwa ilmu sastra dipecah atas tiga pilar, yaitu teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra ( Pradopo, 2008:1). Ketiganya saling berjalin-kelindan dan tidak bisa ditinggalkan satu dengan yang lainnya. Ketiga pilar itu adalah sebuah hirarki yang harus dipelajari secara runtut. Teori sastra sangat erat hubungannya dengan kritik sastra karena kritik sastra membutuhkan sebuah teori sebagai sandarannya. Sejarah sastra juga berkaitan dengan kritik sastra, dimana ketika melakukan penilaian pada sebuah karya sastra, tentu adalah lebih sempurna jika menganalisa secara intertekstual. Maksudnya adalah apakah karya yang bersangkutan, jiplakan atau transformasi dari karya sebelumnya. Juga apakah bentuk, ide dan gagasan karya sastra tersebut, sama atau berbeda dengan karya sastra sebelumnya.
Dalam perjalanannya, kesusateraan Indonesia modern oleh Nugroho Notosusanto, di awali ketika lahirnya nasionalitas Indonesia secara resmi. Sebab sesudah itu, karya cipta sastra sudah bersifat nasional Indonesia, bukan cipta daerah lagi (Pradopo, 2008:6). Berdirinya organisasi pergerakan kebangsaan Indonesia yakni Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908, secara resmi diakui nasionalitas Indonesia. Namun demikian nyatanya pada tanggal tersebut belum ada karya sastra (modern) yang bersifat nasional Indonesia (Pradopo, 2008:7). Antara tahun 1908 hingga 1920, terdapat dua buah karya sastra yang menggunakan bahasa nasional yakni bahasa Indonesia meskipun secara resmi bahasa Indonesia diakui pada tanggal 28 Oktober 1928. Teeuw mencatat dua buah karya tersebut ialah roman karya Mas Marco Kartodikromo yang berjudul Student Hidjo terbit pada 1919 dan Hikayat Kadiroen karya Semaun yang terbit pada tahun 1920 (Teeuw; 1978:35,33 via Pradopo, 2008:7). Pasca dari itu, karya-karya sastra didominasi oleh sastrawan Balai Pustaka yang diawali dengan roman Azab dan Sengsara oleh Merari Siregar pada tahun 1921 (Pradopo, 2008:7).
Jauh sebelum itu sebenarnya terdapat karya sastra yang sudah agak modern yakni karya-karya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi yaitu Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jedah atau Hikayat Abdullah. Penyebutan nama penulis, pengangkatan masalah sosial kemasyarakatan, penyebutan angka tahun dan cara deskripsi menyerupai bentuk otobiografi, telah menempatkan karya itu sebagai karya yang sudah memperlihatkan ciri-ciri karya modern. H.B Jassin menempatkan karya-karya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi sebagai karya masa transisi yaitu karya yang menghubungkan kesusateraan Indonesia lama ke kesusateraan Indonesia modern. (Maman Mahayana, 2007:4).

bagian II silahkan klik disini

Sastra Peranakan Tionghoa: Sastra Yang Tercecer

Oleh : Van Prey

(bagian II)

Wacana Kontroversi

Kesusateraan sesungguhnya adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam sebuah dinamika perjalan bangsa. Kesusateraan lahir dan tumbuh serta bergerak mengikuti dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Proses meng-ada-nya sastra juga tidak semudah seperti yang dibayangkan. Telah dijelaskan diatas bahwa sastra tidak lahir begitu saja. Tapi kondisi sosial, budaya, politik, ekonomi, agama dan bahkan ideologi juga memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap penciptaan karya sastra. Percikan konflik pemikiran dan badai perbedaan pendapat saling tertuang dalam karya sastra setelah melalui proses pergulatan yang sengit dalam diri sastrawan dalam kontemplasi yang tidak lama. Kontemplasi pun juga belum cukup karena masih ada berbagai hal yang ingin dicipta oleh sastrawan yakni ide baru, gagasan yang inovatif, dan bentuk yang revolusioner dalam karyanya. Sehingga lahirnya karya sastra adalah tidak sesederhana yang dibayangkan. Dia begitu rumit dan memuat berbagai masalah begitu kompleks. Adalah suatu hal yang tak elok jika membuat sekat atau garis pembatas tegas antara Kesusateraan Indonesia lama (tradisional) dan Kesusateraan Indonesia Baru (modern). Pembagian dua wilayah ini seolah-olah seperti membagi sesuatu dalam sebuah wilayah menurut letak geografisnya. Seolah-olah pergerakan kesusateraan Indonesia tidak jauh berbeda dengan gerakan politik yang garis kebijakan politik dalam sebuah pemerintahan dapat ditentukan berdasarkan penggantian kekuasaan atau kepemimpinan pemerintahan (Maman Mahayana, 2007:4).
Hubungan antara sastra dan masyarakat tidak jarang memiliki pengaruh timbal balik. Sebuah problema baru dalam masyarakat yang mana masih dianggap asing, diungkap dalam sebuah karya sastra. Saat karya tersebut diterbitkan dan kemudian dikonsumsi oleh khalayak, tak urung pasti terdapat berbagai penilaian yang berbeda. Ada masyarakat yang setuju dan tidak setuju terhadap karya sastra tersebut. Perbincangan, dialog tak langsung, adu argumen dalam teks karya yang berlainan tahun adalah sesuatu hal yang lumrah namun tidaklah sederhana. Persoalan itu begitu rumit dan problematik.
Lalu, bagaimana mungkin kesusateraan yang meng-ada melalui proses yang rumit itu secara gampang dibuat sebuah garis tegas pembatas antara kesusateraan Indonesia lama (tradisional) dan kesusateraan Indonesia baru (modern)?.
Cara pandang yang menganggap bahwa sesuatu hal yang tradisional itu adalah hal yang kuno, rongsokan, kusam dan terbelakang menjadikan karya sastra Indonesia lama (tradisional) di marjinalkan. Dipinggirkan dan dilupakan. Sedangkan yang baru (modern) di anggap terhormat, bermartabat, revolusioner dan dengan segala macam rupa kelebihannya. Inilah sebuah cara pandang yang menyimpang dan menyesatkan sehingga menganggap sesuatu hal yang tradisional itu selayaknya harus cepat-cepat dikubur sedalam-dalamnya. Dibuang, diasingkan dan tak patut untuk tetap dipertahankan. Padahal, keberadaan kesusateraan modern tentu sangat berkaitan erat dengan kesusateraan tradisional. Tak mungkin ada kesusateraan modern jika tak pernah ada kesusateraan tradisional.
Keberadaan biro penerbit Balai Pustaka—yang saat itu Belanda masih menduduki Indonesia—memiliki pengaruh yang sangat penting dalam sejarah kesusasteraan Indonesia. Berawal dari roman Azab dan Sengsara, Salah Asuhan, Layar Terkembang, Belenggu dan lainnya terus bergulir. Namun rupanya pengaruh kekuasan kolonial Belanda turut menentukan alur perjalanan sejarah kesusateraan Indonesia.
Jika dikatakan, Sejarah selalu berpihak pada penguasa, maka itulah yang terjadi dalam kesusateraan Indonesia. Riwayat perjalanannya penuh dengan pemanipulasian, perekayasaan, penenggelaman, dan penyesatan. Tetapi lantaran sejarah milik penguasa, bahkan penguasa itu juga sengaja menciptakan sejarahnya sendiri, maka yang kemudian bergulir adalah sebuah mainstream yang menyimpan kepentingan politik penguasa dengan berbagai rekayasanya (Maman Mahayana, 2007:93). Yang terjadi kemudian adalah riwayat sastra Indonesia berpusat pada Balai Pustaka. Sastra terbitan Balai Pustaka dianggap sebagai yang berwibawa dan terhormat. Bahasa Balai Pustaka menjadi ikon kebudayaan elite sebagai bahasa golongan yang paling tinggi budayanya. Bacaan diluar Balai Pustaka dianggap sebagai bacaan liar, picisan, bahasa pasar, dan marjinal. Karena itu, para sastrawan beserta karyanya di luar Balai Pustaka saat itu tidak dikenal dan lenyap bersama ambisi tamak kaum kolonialis.

Politik Kolonial Balai Pustaka Menodai Sejarah Kesusasteraan Indonesia

Komisi Untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat ( Commissie voor Indlandsche School en Volkslectuur) yang berdiri pada tahun 1908, digantikan Balai Pustaka atau Kantor Bacaan Rakyat ( Kantoor voor de Volkslectuur) pada 22 September 1917 (Maman Mahayana, 2007:108). Sesungguhnya hal tersebut dilakukan sebagai bagian dari realisasi politik etis kaum kolonialis. Pendirian Balai Pustaka sejatinya memiliki tujuan terselubung yang bermuatan kepentingan politik.
Sutan Takdir Alisjahbana (STA) yang pernah menjadi redaktur Balai Pustaka menuliskan :
Balai pustaka didirikan untuk memberi bacaan kepada orang-orang yang sudah pandai membaca, yang tamat sekolah rendah dan yang lain-lain, disamping untuk memberikan bacaan yang membimbing mereka supaya jangan terlampau tertarik kepada aliran-aliran sosialisme atau nasionalisme yang lambat laun toh agak menentang pihak Belanda.

Di bagian lain STA juga menambahkan :

Ketika itu boleh dikatakan Balai Pustaka mewakili pikiran-pikiran golongan Belanda yang agak enlightened yang sedikit banyak mengandung etische politiek, seperti yang timbul di negeri Belanda pada masa perubahan dari abad 19 ke abad 20.

Memang, Balai Pustaka memiliki peran penting dalam menumbuhkembangkan kesusateraan Indonesia, namun tetap juga menimbulkan persoalan lain yang sangat berkaitan dengan politik kolonial di tanah jajahan (Indonesia). Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa Balai Pustaka melahirkan sastrawan dan kritikus Sastra Indonesia Modern yang berarti ikut mengembangkan kesusateraan Indonesia pada umumnya, tetapi tindakan para penjajah melakukan propaganda antinasional, mengklaim penerbit swasta sebagai ”saudagar kitab yang kurang suci hatinya” adalah suatu tindakan yang telah mencoreng hakikat ilmu sastra, terkhusus pilar sejarah sastra. Citra buruk yang dilabelkan oleh Belanda terhadap penerbit partikulir (swasta) diciptakan agar Balai Pustaka tetap dianggap sebagai penerbit yang berwibawa dan terhormat.
Bahwa buku terbitan Balai Pustaka hanya dikonsumsi oleh kalangan elitis dan penerbit partikulir di konsumsi oleh khalayak umum, maka disinilah muncul ketakutan pemerintah kolonial akan pengaruh bacaan. Karena membaca adalah sebuah jalan menuju dunia yang baru, dan karena membaca adalah salah satu sebab menjadikan seseorang menjadi cerdas, maka dari itu pemerintah kolonial Belanda sadar sepenuhnya jika masyarakat pribumi mengkonsumsi bacaan dari penerbit partikulir akan lebih mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan. Sangatlah wajar jika kemudian Dr. D.A. Rinkes, direktur Balai Pustaka ketika itu, melakukan hasutan dan menyebut bacaan di luar Balai Pustaka sebagai bacaan ”liar”. Berikut kutipan tulisan dari Dr.D.A.Rinkes:
Dalam masa 25 tahun yang baru lalu ini politik pengajaran pemerintah itu amat berubah. Dahulu yang diutamakan hanya akan mengadakan pegawai yang agak pandai untuk jabatan negeri, sekarang pengajaran rendah itu terutama untuk memajukan kecerdasan rakyat.

Tetapi pelajaran itu belum cukup. Tambahan lagi harus pula dicegah, janganlah hendaknya kepandaian membaca dan kepandaian berpikir yang dibangkitkan itu menjadi hal yang kurang baik...

Hasil pengajaran itu boleh juga mendatangkan bahaya kalau orang-orang yang telah tahu membaca itu mendapat kitab-kitab dari saudagar kitab yang kurang suci hatinya dan dari orang-orang yang hendak mengharu.

Oleh sebab itu, bersama-sama dengan pengajaran membaca itu serta untuk menyambung pengajaran itu, maka haruslah diadakan kitab-kitab bacaan yang memenuhi kegemaran orang kepada membaca dan memajukan pengetahuannya, seboleh-bolehnya menurut tertib dunia sekarang. Dalam usaha itu harus dijauhkan hal yang dapat merusak kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri .

Begitulah, Belanda melalui politik kolonialnya dengan berbagai cara berusaha mengunci ilmu pengetahuan, membonsai pribumi agar Belanda tetap dapat menginjak-injak kaum pribumi.
Padahal, jauh sebelum Balai Pustaka ada, beberapa penerbit peranakan Tionghoa sejak 1833 telah ada. Tercatat Kho Bie & Co., Tjoei Toei Yang, Firma Sie Dhian Ho. Penerbit dan percetakan inilah yang banyak menerbitkan buku terjemahan—termasuk buku sastra dan cerita silat—karya pengarang peranakan Tionghoa (Maman Mahayana, 2007:102). Dengan demikian, pengarang peranakan Tionghoa turut memperkembangkan khazanah sejarah kesusateraan Indonesia. Bahkan bisa juga disebut sebagai pembuka jalan menuju sastra Indonesia Modern. Akibat dari tindakan kolonialis Belanda ini, sastra peranakan Tionghoa tercecer dan tak tercatat dalam sejarah kesusasteraan Indonesia.
Penelitian yang dilakukan oleh Claudine Salmon adalah sangat luar biasa. Claudine Salmon tidak hanya menunjukkan bahwa sastra Indonesia telah ramai jauh sebelum Balai Pustaka lahir, tetapi juga membuktikan bahwa karya-karya terbitan diluar Balai Pustaka, tidak kalah dari karya-karya terbitan Balai Pustaka (Maman Mahayana, 2007:7).
Claudine Salmon menyebutkan bahwa keseluruhan karya penulis peranakan Tionghoa antara tahun 1870-1960 yang berhasil dikumpulkan mencapai 3005 judul. Meski jumlah itu tak memperhitungkan cetak ulang, secara kuantitas terbitan balai Pustaka tetap kalah jauh, seperti yang tercatat A. Teeuw berjumlah 400-an karya. Juga pada bulan Desember 1936—dalam catatan kaki Maman Mahayana—Pegawai redaksi Balai Pustaka bersama bagian Taman Pustaka diperintahkan berkeliling pulau Jawa untuk memeriksa penerbit-penerbit didaerah, sekalian dengan memeriksa buku terbitannya. Sampi tahun 1938, terkumpul sekitar 650 buku terbitan penerbit partikulir (swasta).
Sejak Komisi Untuk Bacaan Sekolah dan Bacaan Rakyat bediri (1908) sampai berganti nama Kantor Bacaan Rakyat ( Kantoor voor de Volkslectuur) atau Balai Pustaka pada 22 September 1917, hingga tahun 1928, menerbitkan tidak lebih dari 20-an bovel. Sementara penerbit-penerbit partikulir khususnya milik orang peranakan Tionghoa antara tahun 1903-1928 menerbitkan lebih seratusan novel asli karya lebih dari 15-an pengarang peranakan Tionghoa. Bahkan beberapa diantaranya mengalami cetak ulang !.
Beberapa sastrawan peranakan Tionghoa yang dicatat oleh Claudine Salmon adalah Probitas (nama pena) berjudul Toedjoe belas tahon dalem resia. Satoe tjerita bagoes aken djadi satoe katja bagi gadis-gadis Tionghoa jang dapet peladjaran Eropa ( terbit tahun 1916); Tjermin (nama samaran) berjudul Rasianja satoe gadis hartawan atawa perdjalanan Nona Tan, satoe Tionghoa di Weltervreden jang terpeladjar tinggi achirnja mengandoeng baji rasia, lantaran kemerdika’annja dalam taon 1917 ( terbit tahun 1918) (catatan kaki Maman Mahayana, 2007:52). Sastra Melayu Tionghoa ini tak sedikit yang mengangkat persoalan gender. Bahkan beberapa penerjemah dan pengarang wanita Tionghoa itu mencoba menerbitkan majalah wanita—sejauh pengamatan—pertama yang terbit di Indonesia. Majalah itu bernama Tiong Hwa Wie Sien Po (terbit di Bogor tahun 1906). Pengelolanya adalah Thio Tjio Nio, seorang penerjemah pertama wanita peranakan Tionghoa. Pemimpin redaksinya Lim Titie Nio dan pengarang wanita lain yang karyanya dimuat dalam majalah itu antara lain, Hanna Peng dan Hoedjin Tjan Tjin Bouw (Maman Mahayana, 2007:52).