Senin, 27 Juli 2009

Berkaca Pada Pengamen

Barang siapa lupa sejarah maka dia lupa ingatan


Sebuah kalimat bijak ini ku temukan di sela-sela trotoar melalui bibir yang bisa mengeluarkan suara merdu. Seorang anak jalanan yang hidup mengamen. Sebagian besar orang menganggap bahwa kumpulan pengamen adalah kumpulan orang-orang yang pemalas. Ketika mereka mulai mengalunkan lagu dan menengadahkan tangan maka tak jarang yang banyak tersenyum nyinyir. Namun, satu hal yang banyak orang tidak pernah mengerti dari mereka adalah sikap mereka tak semuanya dan selamanya seperti yang kita pikirkan.

Saat gemulai angin mencium bibir lampu merkuri yang berbaris di jalanan belahan tapak tiga Ternate, dua orang pengamen datang dan mengalunkan lagu. Aku dan tiga orang temanku terpana. Pertemuan itu berakhir dengan duduk-duduk dan berdiskusi. Satu hal yang tak pernah saya temukan dari para pengamen, mereka adalah kumpulan Sarekat Pengamen Ternate yang memikirkan bangsa. Tidak hanya mengamen untuk cari makan. Tujuan mereka tak hanya mondar-mandir kesana-kemari, melainkan mereka berharap penuh akan terciptanya dan kembali terwujudnya budaya lokal/kearifan lokal (local wisdom) yang kian tersingkir. Caranya adalah berusaha memunculkan kembali lagu daerah dan budaya daerah.

Diskusi itu semakin asyik, bahkan meski tengah malam lewat, kami tetap duduk-duduk dan menikmati suasana pantai yang semakin tertindas oleh daratan karena terus ditimbun untuk memperluas lahan mendirikan bangunan. Sarekat Pengamen Ternate (SPT) anak cabang dari SPI berdiri sejak tahun 2008 lalu. Satu hal lagi yang mengejutkan dari mereka bahwa dalam dua bulan terakhir mereka melakukan pengajaran secara non-formal kepada anak-anak jalanan. Lebih dari itu,mereka sering mendapat pukulan dari SatpolPP yang sering mengusir pedagang kaki lima. Mereka mencoba membantu para pedagang kaki lima yang kebanyakan telah berumur. “ itulah konsekwensinya” kata Apul, pria gagah yang memilih jalan hidupnya dalam komunitas marginal tersebut.
Rasa yang dimiliki para pengamen ini patut di beri penghargaan yang luar biasa dari orang-orang yang masih memiliki rasa simpati dan memiliki mimpi membangun bangsa. SPT sangat berharap bisa tetap berjuang membantu rakyat bahkan hingga titik darah penghabisan. Dan tanpa dibayar sepeserpun.! Dalam perjuangannya, SPT hingga sekarang sedang berusaha membangun/menyewa sebuah tempat untuk sanggar dan sekretariat. Beberapa hasil kreative dari teman-teman SPT seperti sablon kaos dan lain-lain tidak bisa berkembang karena kendala tersebut.

Satu sisi kehidupan manusia yang sangat luar biasa. Mereka bisa dinilai lebih mulia dari para pejabat yang hanya mampu dalam konsep. Mereka terlibat langsung tanpa meminta bayaran. Mereka merasakan langsung bagaimana sengsaranya tanpa meminta tunjangan dan mobil dinas. Bahkan sebaliknya mereka sering mendapat perlakuan yang tidak baik. Namun, mereka tetap optimis. Setidaknya bisa sedikit-demi sedikit memulihkan kembali budaya lokal yang kian terpendam oleh kecongkakan modernitas.

2 komentar:

Selalu ada tempat berkomentar untuk anda