Senin, 29 Maret 2010

Miskin Dan Pajak

Sejak dahulu kala, kita selalu diajarkan oleh orang tua bahwa berburuk sangka itu buruk dan tidak diperbolehkan. Sehingga, ketika para intelektual yang melakukan penelitian dan mendata berapa banyak orang miskin di Negeri subur ini kemudian dipresentasikan dihadapan orang dan pejabat-pejabat di hotel mewah dan berbintang melalui seminar-seminar lantas setelah itu ada break makan enak, tidak boleh dicurigai. Siapa tahu setelah seminar-seminar semacam itu terjadi semacam abra kadabra dan tiba-tiba semua orang miskin menjadi lebih baik atau minimal kenyanglah perut mereka. Atau setidak-tidaknya orang miskin bisa bermimpi makan enak. Soal setelah terjaga mereka lapar, itu urusan lain.





Kemiskinan memang selalu bertetangga dengan kelaparan. Ketika rakyat kelaparan berarti di situ terdapat kemiskinan. Tetapi anehnya di negeri kita ini, para abdi rakyatnya agak malu ketika menyebut daerahnya sebagai daerah orang kelaparan dan orang miskin. Demi menjaga image, kelaparan pun diganti dengan "rawan pangan" atau "kurang gizi". Toh mungkin karena alasan sebagai orang Timur lebih identik dengan dengan sopan santun, perilaku berbahasa tersebut tidak boleh diperdebatkan. Oleh sebab itu kata pelacur diganti dengan "wanita tuna susila" dan gelandangan di sebut "tuna wisma". Seakan istilah sansekerta yang dimunculkan itu harkat dan martabat pelacur dan gelandangan menjadi naik dan bergengsi.

Saat ini, yang sedang hangat diperbincangkan di negeri kita adalah mafia pajak. Orang dengan golongan III A, yang bergaji sekitar 10jt-an punya rumah berharga milyaran serta rekening yang bermilyaran pula. Tidak tahunya rupanya dicurigai hasil nilep uang yang disetor oleh rakyat juga termasuk rakyat miskin sebagai "upeti" terhadap negara karena negara ini telah "melindungi dan mensejahterakan rakyat". Namun upeti tersebut di tilep oleh pegawai yang bekerja pada insitusi 'perupetian'.

Sebutan yang disematkanpun gaul dan mentereng yakni "MAFIA PAJAK". Kalau memang intinya itu adalah "maling" kenapa tidak disebut "maling" begitu saja? Apakah ini karena orang Timur dengan jiwa sopan santunnya maka dihalus-haluskan?

Sudah, tidak usah dipikir tentang istilah. Yang penting saat ini kita patut prihatin. Si saat Dirjen 'perupetian" berkampanye besar=besaran agar masyarakat negeri ini sadar membayar "upeti", eee malah pegawainya maling uang hasil "upeti". Padahal uang hasil "upeti' itu digunakan untuk membangun negara seperti membuat pelabuhan, jalan, pasar juga untuk menggaji para PNS termasuk mereka POLISI dan TENTARA.

Lalu, setelah tragedi seperti ini apa yang akan kita perbuat? Boikot bayar pajak? Ya, itu normal karena kecewa. Namun perlu diingat bagaimana perkembangan bangsa kita ke depan. Sekitar 70% APBN atau APBD di ambilkan dari pajak untuk membangun fasilitas umum. Fasilitas untuk melayani masyarakat baik itu konglomerat maupun yang melarat. Setidak-tidaknya kita jangan berburuk sangka terhadap pegawai "penarik upeti" lainnya dan kita tetap membayar pajak demi kemajuan bangsa kita tercinta. Kita juga harus mendukung pihak yang berwajib agar bisa memenjarakan Gayus Tambunan sebagai penilep "upeti". Kita juga harus optimis pada yang berwajib dan jangan berburuk sangka juga jikalau nanti-kedepan- Gayus masuk bui lewat pintu dan keluar dengan cepat loncat lewat jendela belakang. Hal seperti itu di negeri kita adalah sesuatu yang bukan mustahil. Tapi jangan berburuk sangka lhoo.....

Minggu, 28 Maret 2010

Spiritualitas Postmodern Berserakan?

Pada era modern, agama dan nilai-nilai moral mengalami distorsi besar-besaran. Sikap dan tindak-tanduk manusia seperti hanya bertujuan terhadap materi belaka tanpa mengindahkan batas-batas. Sekulerisasi dalam agama menjadi virus fatal bagi agama sehingga urusan agama dan negara bahkan dipisahkan dan tidak boleh di gabung. Padahal agama juga mengajarkan hukum-hukum ketatanegaraan yang dapat dijadikan rujukan agar negara tersebut damai, adil dan sejahtera serta penuh dengan kearifan.

Agama dan moralitas mengalami alienasi metafisik yakni manusia begitu tak berdaya menghadapi realitas. Selanjutnya seperti gejala anti-agama--gerakan new age-- kelihatannya tidak memberikan solusi yang cerah dan tidak memberikan pemecahan yang berarti bagi umat manusia yang kian asing di lingkungan mereka sendiri.

Era Postmodern, terlepas dari kesimpangsiuran akan apakah postmodern adalah kritik atas modern atau apakah kelanjutan dari modern, tetap menghadirkan masalah-masalah sosial yang unik dan perlu untuk diwacanakan lebih-lebih yang berhubungan dengan spiritualitas yang dianggap sebagai "pagar" supaya manusia tidak kebablasan terjatuh ke lembah yang tak berujung.



Kondisi spiritualitas postmodern adalah kondisi dimana yang suci dicemari oleh yang kotor. Yang transenden di setubuhi oleh yang imanen dan yang ilahiah di perkkosa oleh yang duniawi. Percampuran inilah yang akhirnya menimbulkan kesimpangsiuran sehingga perbedaan diantara keduanya menjadi kabur.

Spiritualitas postmodern menampilkan kesucian dan kesakralan yang hanya bersifat permukaan dan artifisial. Kesucian itu kini digantikan oleh apa yang disebut Yasraf Amir Piliang dalam Posrealitas sebagai image kesucian yakni kesucian yang ditampilkan di dalam bentuk tanda-tanda (sign of holiness) yang bersifat imanen belaka. Telah terjadi semacam pendangkalan makna kesucian. Substansi dari kesucian seakan terkikis dan tercukur habis.

Era postmodern dimana masyarakat menjadi masyarakat konsumtif dan dikendalikan oleh hasrat ekonomi kapitalistik yang berlebihan, menjadikan masyarakat kian membabibuta untuk memproduksi apapun yang dapat menghasilkan keuntungan. Libido kapitalis merasuk hingga setiap sendi-sendi masyarakat bahkan pada tingkatan wilayah spiritualitas itu pun juga turut dirasuki.

Wacana spiritualitas postmodern adalah simbiosis dua kekuatan bertentangan menjadi satu kekuatan kontradiktif yaitu percampuran spirit keTuhanan dan spirit Konsumerisme. Spiritualitas dijadikan bagian dari gaya hidup. Gaya hidup dibentuk dalam sebuah ruang sosial yang didalamnya terjadi sintesis antara aktivitas belanja dan kesenangan. Di dalam kapitalisme, masyarakat dikonstruksi secara sosial ke dalam berbagai ruang gaya hidup yang menjadikan mereka sangat bergantung pada irama pergantian gaya, citra, status/prestise yang dikeluarkan didalamnya (yasraf amir pilliang). Budaya konsemerisme dan kesenangan serta kemewahan hadir pada tempat-tempat ibadah yang meskipun di desain dengan arsitektur yang megah dan mewah, tetapi tetap sepi pengunjung. Hanya sebatas image kemewahan dan kemegahan yang ditampilkan. Juga gaya penampilan/mode yang ditampilkan di media-media, turut mempengaruhi masyarakat. Pakaian yang secara substansi adalah pakaian syar'i yang sesuai secara hukum agama, di populerkan oleh seorang publik figur dengan budaya glamouris lalu ditiru oleh masyarakat yang telah larut dalam dunia simbol-simbol.

Mengajarkan orang-orang ke lembah spiritualitas di tengah masyarakat yang lelap dalam tamasya hasrat, menggandeng orang-orang ke jalan kesucian di tengah masyarakat yang memuja kedangkalan, dan menarik orang-orang dari jurang materi di tengah masyarakat yang mendewakan materi adalah tantangan besar dalam wacana spiritualitas postmodern di tengan masyarakat kontemporer.

Lalu apakah tidak terlalu berlebihan ketika banyak orang beranggapan bahwa di era postmodern kali ini spiritualitas akan kembali menjadi dermaga bagi orang-orang yang lupa daratan? Hemat penulis, terlalu dini ketika menyimpulkan bahwa agama dan spiritualitas akan kembali dihargai di era postmodern kali ini. Justru agama dan spiritualisme kian terinjak-injak.

Minggu, 21 Maret 2010

Menuju Kematian Realitas?




Konsep tentang apakah realitas sejati menjadi perdebatan panjang semenjak era Yunani sebelum masehi. Tombak-tombak argumen yang saling menghunjam antara para pemikir satu dengan pemikir lainnya menjadi sebuah coretan pelangi yang mewarnai dunia pengetahuan. Ketika dunia ada dengan segala wujudnya, terlepas dari pertentangan kaum ruhaniawan dan kaum ilmuwan, waktu telah menjejak melumuri wujud dunia dan segala isinya tersebut. Begitu pun sosok makhluk bernama manusia, yang secara sadar dan tidak sadar semenjak ia ada dalam kemelut dunia, ia juga berlumuran waktu. Ia adalah sosok yang paling paham dengan sejarah dirinya bahkan jua mencoba mengungkit sejarah Tuhan ketika gonjang-ganjing pencarian realitas terjadi. Segala yang telah ada dalam dunia tersebut terus berubah. Dari lenyap kemudian muncul pembaharu lalu lenyap dan seterusnya sehingga membentuk sebuah kontinuitas. Dan entah dari mana segala yang berubah dalam dunia tersebut di cap sebagai sesuatu yang "fana".

Menjadi sebuah ironi yang menarik, Manusia dengan sifatnya yang "fana" namun haus dan lapar akan kesejatian dan kekekalan. Pergolakan pikir yang terus berlanjut pada diri manusia akhirnya membentuk dua buah narasi raksasa yang saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Tuhan yang hadir dalam sejarah entah sejak kapan, dan kaum yang menganggap realitas sejati adalah dari langit, seakan tidak memberikan kesempatan pada nalar untuk menggapainya. Nalar seakan tersumbat untuk dapat mampu mencapai realitas sejati tanpa kemampuan spiritualitas. Nalar akhirnya memberontak dan membombardir hingga akhirnya beranggapan bahwa sesuatu yang dari langit hanyalah omong kosong belaka. Realitas sejati yang dimiliki oleh nalar kemudian terbatas hanya pada materi. Perkelahian antara para penganut nalar yang tak kenal lelah dengan para penganut iman yang keras kepala terus berlanjut. Dan akan berakhir hingga dunia ini hancur, mungkin.

Apakah mitos yang tidak berpijak pada dunia manusia, atau dunia manusia belaka yang realitas sejati? Atau apakah yang realitas sejati adalah seperti apa yang dikatakan oleh Plato yakni ide?

Konsep yang terbangun adalah pasang-pasangan antara Lahir dengan Batin, Fisik dengan Metafisik, Fenomena dengan Noumena, Imanen dengan Transenden yang terjadi anggapan bahwa yang disebut belakangan adalah sebuah realitas lebih tinggi dibanding yang disebut pertama. Namun benarkah nalar tersumbat sehingga kemampuan untuk mencoba menembus apa yang disebut yang belakangan tak pernah tercapai oleh hasil-hasil yang telah dicapai oleh nalar seperi sains dan teknologi? Ketidakmampuan nalar seakan membuat ia terus merasa tidak puas dan terus mencari dengan rasa yang tidak pernah tenang dan gelisah.

Sains dan Teknologi yang telah dilahirkan oleh nalar kian membiak dan menguasai seluruh sendi-sendi kehidupan. Apalagi disertai oleh sifat keserakahan manusia yang berpikir akan keuntungan. Hal tersebut rupanya telah menciptakan manusia dalam kondisi "masyarakat elektronik" atau seperti yang disebut oleh Gertz sebagai "masyarakat Cybernetik" yang hidup dengan tombol-tombol. Mesin-mesin yang dilahirkan oleh nalar menguasai kehidupan manusia dari segala lini bahkan setingkat seks sekalipun. Teknologi mutakhir yang kini berada dihadapan kita adalah dunia cyberspace dimana didalamnya realitas adalah dunia virtual dimana data-data apapun terbentuk dalam bit-bit (bytes) yang terangkai dan terhubung antara satu dengan yang lain.

Realitas virtual ini hadir menyelusup dalam kehidupan manusia dan telah berada dalam genggaman. Seorang manusia bisa membuat dirinya sendiri dalam dunia virtualitas dalam bentuk asli atau palsu semisal ketika dalam dunia nyata ia laki-laki namun dalam dunia virtual ia bisa menjadi perempuan dan bahkan keduanya. Tubuh atau jasmani seakan adalah suatu hal yang marginal. Ruhani seakan tampil dalam dunia virtual sebagai suatu hal yang dangkal dan tidak memberikan efek secara langsung terhadap psikologis. Hal itu dikarenalkan bahwa realitas virtual sejatinya tidak menyatu dengan realitas yang real. Namun, semakin majunya zaman, yang virtual seakan adalah yang real. Segala kegiatan dunia nyata dikendalikan dari dalam dunia virtual, dari perekonomian, perkembangan teknologi, siraman ruhani dan juga gairah-gairah liar seksual. Tubuh menjadi sesuatu hal yang asing dan marginal. Kegiatan dalam kondisi nyata seakan menjadi nomor dua dan yang paling utama adalah dunia virtual.

Konsep dualistik diatas seperti jasmani/ruhani, imanen/transenden, fenomena/noumena, fisik/metafisik mendapatkan tantangan besar. Anggapan bahwa realitas adalah dua konsep tersebut kini berada di ujung senapan sains dan teknologi mutakhir. Realitas dari konsep dualistik tersebut kini telah mati.

Kamis, 18 Maret 2010

Meraba Dunia Post-Modern

Revolusi Industri: Sebuah Sketsa Pengantar




Awal mulai Revolusi Industri tidak jelas tetapi T.S. Ashton menulisnya kira-kira 1760-1830 Penemuan mesin uap oleh James Watt rupanya telah memberikan dampak besar bagi kehidupan umat manusia baik dibidang ekonomi, sosial maupun budaya. Budaya agraria relah berubah menjadi budaya industri dan terjadilah sebuah revolusi dimana urbanisasi penduduk pedesaan pindah ke perkotaan yang akhirnya menimbulkan berbagai dampak sosiologis. Masyarakat pedesaan yang terbiasa hidup menjadi petani kini menjual jasa mereka menjadi buruh di pabrik-pabrik yang menggunakan mesin sebagai alat produksinya. Selain itu, mesin pun juga merambah dunia agraria yang kian memudahkan para petani untuk mengeksploitasi lahan secepat dan seefisien mungkin dengan modal yang seminimal mungkin. Keberadaan mesin sungguh telah merubah wajah dunia.

Mesin tidak hanya diciptakan untuk membantu produksi umat manusia, namun hampir seluruh kegiatan yang berkaitan dengan produksi tersebut seperti pengangkutan dan distribusi juga digunakan mesin-mesin transportasi yang memudahkan dan membuat segalanya menjadi lebih efisien. Manusia, dengan kodratnya secara fisik sebagai makhluk yang lemah namun dengan kemampuan akal ia mencoba untuk “menolak” kodrat tersebut. Dengan dibantu oleh alat-alat yang telah diciptakan manusia, segala kegiatan dan aktivitas menjadi lebih mudah.

Selain mesin-mesin yang membantu kelemahan fisik manusia, kini juga telah merebak mesin-mesin informasi yang sangat dibutuhkan “software”nya manusia. Informasi yang disalurkan oleh media baik itu elektronik maupun cetak bahkan cyberspace begitu membantu manusia sehingga dunia ini layaknya seperti global village kata Alfin Tofller. Manusia dengan mudah dapat mengetahui kondisi manusia lain di belahan bumi yang jauh sekalipun dengan bantuan mesin/teknologi informasi seperti internet. Jarak dan batas geografis seperti telah pudar dengan adanya dunia baru yakni dunia virtual. Inilah dunia modern dimana segala yang cepat, instan dan efisien berjibaku dan saling berebut.

Lembah Baru



Sejauh perjalanan sains dan teknologi, manusia telah mampu menembus hingga ke Bulan dan bahkan menciptakan robot-robot untuk melakukan ekspedisi ke planet-planet lain. Juga beberapa hotel yang dibangun dibawah laut serta terowongan-terowongan bawah tanah bahkan terowongan bawah air seperti sungai sekalipun. Kemudahan demi kemudahan menghinggapi manusia akibat hasil “kecerdasan” manusia sendiri.

Sebuah daerah baru hadir di depan mata ketika segala hasil cipta sains dan teknologi begitu sangat (-sangat) memanjakan manusia. Dari sisi teknologi produksi, segala macam produk di telurkan demi mencukupi kebutuhan dan keinginan manusia secara masal. Dengan bantuan ideologi kapitalis, maka para kaum bermodal yang memiliki mesin-mesin produksi menawarkan produknya melalui media. Manusia disuguhi produk yang entah benar-benar butuh atau sekedar produk yang hanya menghapus dahaga hasrat keinginan. Manusia dipersilahkan memilih dengan hadirnya promo-promo produk yang menggiurkan dari manusia lain yang memiliki modal dan menginginkan lebih atas modal yang telah dikeluarkan tersebut. Berbagai produk dari berbagai mesin yang di hasilkan disesuaikan selera dan kesukaan masing-masing. Namun terkadang hal ini juga agak miris ketika kita melihat lebih dalam ketika manusia sejatinya tidak di sajikan kebutuhan yang menurut kesukaan masing-masing tetapi karena promo yang dilakukan pihak kaum bermodal melalui media, manusia “dipaksa” untuk “suka” ketika produk tersebut dipakai atau ditawarkan oleh seorang publik figur seperti para artis papan atas melalui media. Sehingga hal ini menjadikan manusia lain sebagai konsumen “dipaksa” untuk membeli. Kondisi ini mengakibatkan umat manusia di perhadapkan pada sebuah gejala over atau hyper baik itu hyper-production maupun hyper-consumption Gejala ini bisa dikatakan melampui (post-production;consumption).

Sisi selanjutnya adalah adalah teknologi transportasi yang kian cepat dan efisien. Produksi kendaraan yang Hyper-Production kini telah membuat manusia tak hanya memiliki satu kendaraan saja tetapi lebih dengan berbagai model dan type. Gejala ini membuat manusia lain yang tak memiliki kemampuan ekonomi memaksakan diri entah dengan bekerja lebih keras atau memilih jalan pintas. Kemanjaan yang ditawarkan oleh teknologi transportasi akhirnya disadari oleh manusia sendiri ketika penggunaannya melewati batas normal dimana manusia menjadi sedikit bergerak (misalnya jalan kaki) dan berdampak buruk bagi kesehatan. Selain itu berdampak pada gas buang yang dihasilkan terlalu “liar” untuk alam kita. Perubahan yang kian digencarkan adalah kembali manual dan menciptakan teknologi baru yang ramah lingkungan. Tentu hal ini juga memberikan dampak ekonomi bagi produk baru yang dihasilkan teknologi mutakhir tersebut.

Sisi yang ketiga adalah teknologi Informasi dimana kita mengenal Cyberspace. Global Village telah terwujud. Bahkan untuk melihat saturnus manusia tak harus membeli teropong bintang tetapi melalui media baik itu elektronik atau cetak. Lebih-lebih dengan cyberspace manusia kini bisa melihat melalui genggaman tangan yang membawa ponsel yang menyediakan fitur-fitur jaringan dunia maya. Informasi yang di unduh dan dicari semakian kompleks. Dari kebutuhan pokok hingga hidung Artis legendaris yang sebenarnya tak ada kaitannya dengan hidup manusia yang bersangkutan pun ditampilkan dalam informasi. Hal ini hanya semacam menampilkan sebuah hasrat-hasrat untuk mencoba eksis dalam dunia yang kian “sempit”. Bahkan dalam dunia cyberspace, manusia satu dengan manusia lain bisa berkomunikasi dan lebih dari itu dapat melakukan seks. Inilah dunia informasi dimana awalnya hanya bagaimana menginformasikan sesuatu yang perlu, kini segalanya di sediakan dengan bebas dan tanpa saringan. Siapapun dapat memberikan informasi dan dapat memiliki informasi tersebut. Sebuah dunia informasi (media) yang Melampui (post-Media).

Dapat disimpulkan kini bahwa manusia hidup pada sebuah kondisi dimana sadar ataupun tidak dalam keadaan melampui batas modern (Post-Modern). Tatkala mesin-mesin produksi dicipta untuk menciptakan produk yang sesuai dengan hasrat manusia sendiri secara over-production, kebutuhan transportasi yang tidak hanya karena butuh tetapi juga prestise dan gengsi serta laju informasi dari berbagai media baik legal atau illegal yang tak lagi mampu dibendung dan menyuguhkan apapun.



Lalu bagaimana dengan masalah moralitas dan spiritualitas dalam dunia Post-Modern? Apakah ia juga melampui menjadi lebih sempurna atau malah lenyap dan “runtuh” segala batasannya?