Sabtu, 18 Juli 2009

Kebenaran, Kebatilan dan Persaudaraan dalam cerpen ”Satria Kurusetra” karya Sakti Wibowo

Oleh: Van Prey

Banyak yang menganggap bahwa khayalan sesungguhnya tidak berguna. Orang mengkhayal ketika akan beranjak tidur atau ketika mereka suntuk dan bosan dengan kegiatan di sekelilingnya. Tapi, di tangan sastrawan khayalan menjadi sebuah permata tersendiri. Mereka mampu mengolah sebuah khayalan menjadi sebuah dunia yang bersandingan dengan dunia nyata, dunia realitas. Memang, terkadang (bahkan sering) khayalan tidak masuk akal. Kadang ingin kembali ke masa lalu dengan memutar waktu atau ingin memutar bumi lebih cepat hingga sampai ke masa depan.
Adalah Satria Kurusetra, sebuah cerpen karangan Sakti Wibowo yang membawa kita berlayar menuju masa lalu. Dengan gaya penulisan yang mampu memikat pembaca, dia berusaha menampilkan rangkaian kata puitis dan tak lazim digunakan dalam bahasa sehari-hari.
“Lelaki itu menatap ke seantero luas padang bernanah. Dadanya mengepundan, tak kuasa lagi menahan sengalan berbaur perih yang menyayat-nyayat”
Paragraf pertama Sakti mampu membuat pembaca untuk terus mengikuti jalan cerita selanjutnya. Sakti mampu menanamkan rasa penasaran melalui rangkaian kata yang ia ciptakan. Cerita dengan latar Bharata Yudha (Pewayangan) ini, pada bagian awal menampilkan tokoh Arjuna yang gelisah, bingung dan bimbang akan pertumpahan darah yang terus terjadi. Di bagian ini, Sakti “menahan” ceritanya dengan memainkan alur yang menarik, jadi “memaksa” pembaca untuk tetap mengamati rangkaian huruf sambil membaca mengkuti jalan cerita. Segala kebimbangan, kegelisahan dan kebingungan yang menyelimuti Arjuna, ia tumpahkan dalam pengaduannya kepada Dzat yang memiliki dan memelihara alam semesta. Di bawah ini kutipan tentang bagaimana gelisah, bimbang dan bingungnya tokoh Arjuna:
“Masih berapa lagi darah yang harus membasah di padang ini Tuhan?”
Lalu monolog dari Arjuna selanjutnya:
”Tidak...aku bukanlah ksatria sejati sebagaimana kata orang-orang. Melainkan hanya segumpal daging kerdil, tak kuasa berdiri oleh tiupan angin beliung yang mementahkan segala rasa. O, bahkan oleh pertalian darah yang terhapus dalam kemelut yang bercabang-cabang”
Asal-muasal segala permasalahan mulai di tampilkan oleh Sakti Wibowo meskipun masih samar-samar. Gaya penulisan Sakti juga tak berubah. Tetap menggunakan rangkaian kata yang tak lazim dalam bahasa Indonesia sehari-hari. Ia juga mengkombinasikan dengan bahasa Pewayangan (Jawa) yang menampilkan pribadi Sakti sebagai pengarang cerita yang berasal dari Jawa. Sebuah ciri khas tersendiri. Namun, dalam pengkombinasi-an kalimat ini sebenarnya akan membingungkan pembaca. Bagi pembaca yang bukan orang Jawa, tentunya mereka akan kesulitan untuk memahami. Mereka akan menggaruk kepala karena kebingungan dengan kalimatnya. Tapi pelengkap atau penjelas bahasa berada pada akhir cerita sehingga pembaca bisa memahami meski agak repot harus membolak-balik lembaran teks. Berikut kutipan dialog antara Arjuna dan kakaknya, Basukarna, yang mengombinasikan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa:
”Mendekatlah Yayi....’kan kutimang sebelum palagan beradu sedan. Kita menanti detik yang luruh satu per satu dalam putaran waktu. Harum melati bidadari khayangan saat menabur jisim-mu perlaya. Sebagai puncak darma kita menuju kehidupan yang baka. Sungguh akan Kakang ceritakan tentang tangan yang menggeletar, kala sesama di larutkan cinta pada pembelaan dharma setia bawa-laksana. Seperti tirisnya biduk ringkih dilabuh di Begawan Yamuna. Kau akan berkata segalanya benar-benar tak terpilih. Kendati begitu bagi nahkoda tak ada laku lebih sesanti selain menempati lautnya............”
Saat hidup menjadi pilihan, maka harus diperjuangkan ketika telah memilih sebuah pilihan dalam menjalani jalan hidup. Kebenaran dan kebatilan yang melibatkan saudara sekandung, menjadikan segalanya berubah menjadi pilihan yang penuh dengan pertimbangan. Dan terkadang, kebenaran pun semakin samar-samar. Tingkah nepotisme yang dilakukan para orang-orang penting yang menduduki jabatan strategis di negara ini, seringkali membuat kebenaran menjadi samar-samar. Dan kebenaran semakin jauh untuk dapat dilihat.
Arjuna sebagai tokoh Protagonis (baik) harus melawan kakak kandungnya sendiri, Basukarna, yang menjadi tokoh Antagonis (jahat). Arjuna, panglima perang dari negeri Amarta yang puncak pimpinan dipegang oleh Kresna, dan Basukarna panglima perang dari negeri Astinapura yang dipimpin oleh Duryudana.
Arjuna tetap saja bingung dan berusaha mencari jalan keluar dengan meminta pertimbangan dari orang dekatnya, yakni ibunya. Ibunya hanya mampu memberi kata penjelas, namun tidak memberi jawaban atas pertanyaan Arjuna. Arjuna berada dalam keadaan dilematis dimana ia harus memilih salah satu yang tak terpilih. Berikut kutipan dialognya:
”Jika saya boleh memilih, Ibu?”
Wanita dihadapannya itu memintal tangisnya.
”Dia kakangmu, kendati kalian berlainan ayah.”
Dilematisasi yang melanda Arjuna, sang panglima perang dari Amarta, tentunya juga akan berpengaruh terhadap ideologi negara dan juga berpengaruh kondisi psikologis para prajuritnya. Seorang pemimpin harus bisa memberi keputusan tegas terhadap bawahannya yang sedang di landa kebimbangan. Kresna kemudian memberikan alasan kenapa Arjuna harus tetap berdiri membentengi negeri Amarta, yang menjunjung nilai-nilai kebenaran. Berikut kutipan perkataan dari Kresna:
”Tapi ia memihak kepada kekufuran, Kunthi. Basukarna menjadi senapati Astinapura. Kita tahu kezaliman yang telah dilakukan Negeri itu. Prabu Duryudana menyebarkan angkara, menginjak-injak hukum Tuhan. Bahkan lebih dari itu mentahbiskan diri sebagai Tuhan.”
Rasa berat ketika harus berhadapan langsung dengan saudara kandung di medan pertempuran masih menggelayuti hati Arjuna. Dia belum mampu menerima seutuhnya secara lapang dada. Namun, nasehat demi nasehat terus menerus di berikan oleh Prabu Kresna kepada Arjuna.
”Aku paham tentang kegalauanmu. Tapi pahamilah bahwa ini strategi Astinapura untuk melemahkanmu. Melemahkan Amarta, karena semenjak pengangkatanmu menjadi senapati alaga, tak ada perwira mumpuni Astina yang mampu berbuat banyak. Mereka kocar-kacir dan menelan kekalahan dari hari ke hari. Senapati satu per satu terjungkal perlaya di Kurusetra. Menghentikanmu hanya dengan Basukarna, sebab dia kakakmu. Sadarilah itu.”
Berbagai nasehat yang diberikan oleh Kresna kepada Arjuna, belum mampu meneguhkan hati Arjuna. Ia tetap saja bingung. Dan bahkan, dalam keadaan yang bingung tersebut, ia memutuskan untuk mengalah. Sepertinya kebenaran yang dipegang oleh negara Amarta tak mampu dijaga oleh Arjuna dikarenakan harus berhadapan langsung dengan saudara kandungnya sendiri. Meski Arjuna mencoba merasionalisasikan Basukarna dan Basukarna mengakui bahwa apa yang dilakukannya salah, namun Basukarna tetap berdiri membela Astinapura. Hal tersebut diakibatkan karena ketika Basukarna masih bayi dan kelahirannya tidak diinginkan oleh Ibundanya, Kunthi, ia ditolong oleh Duryudana, Raja Astinapura dan merawatnya hingga tumbuh menjadi seorang ksatria yang patut diandalkan serta jabatan yang strategis. Alasan dari Basukarna adalah balas budi. Dan menurutnya, hanya inilah yang mampu ia lakukan untuk membalas kebaikan Duryudana. Berikut kutipannya:
”Aduhai Kakanda...tidakkah sebaiknya kita tak berhadapan saja?”
Lelaki taruna itu tersenyum masygul. ”Mendekatlah, yayi...”
.................................
”Segalanya memang tak terpilih. Pun andaikan Kakang harus menunda menerima tampuk panglima. Hanya menunda waktu saat kita berhadapan di medan laga. Terkecuali mundur dari tugas itu. Sungguhlah itu tak mungkin, yayi...”
”Kenapa?”
Cerita selanjutnya adalah percakapan Arjuna dan Basukarna tentang asal-muasal kenapa Basukarna harus tetap membela Astinapura dan rasionalisasi Arjuna.
..........”Aku mengerti Amarta dipihak yang benar, karena mengusung nilai-nilai Illahi. Namun mengertilah bahwa Kakang tidak bisa ingkar telah banyak berhutang budi terhadap Prabu Duryudana. Saat Kakang harus mengecap derita dibuang ibunda Kunthi, Prabu Duryudana memungut Kakang dari kubangan dan membesarkan. Dia pula yang mengangkat Kakang dari sekedar gembel menjadi seorang punggawa istana. Kedudukan yang sebelumnya mimpi pun tak sanggup...”
”Tapi Kakang...bukankah Musa juga berhutang nyawa kepada Fir’aun? Namun itu tak menghalanginya untuk memerangi Fir’aun saat dia menolak menerima Tuhan.”
Proses merasionalisasikan Basukarna oleh Arjuna rupanya tidak mempan. Basukarna tetap bersikeras terhadap apa yang ia yakini. Dan ia memutuskan untuk tetap berperang melawan Amarta yang berarti juga melawan adik kandungnya sendiri. Tapi sesungguhnya, keras kepala Basukarna tidak seperti apa yang dibayangkan oleh Arjuna. Basukarna sebenarnya sudah sadar dengan apa yang diucap oleh Arjuna. Namun, demi harga diri sebagai seorang panglima perang, ia tetap bersikeras untuk melawan Amarta. Basukarna memiliki rencana sendiri yang telah ia siapkan dalam benak hatinya jika nanti menghadapi Arjuna di medan laga.
Di padang Kurusetra, tempat medan pertempuran berlangsung, Arjuna tak mampu melawan kakak kandungnya tersebut. Ia malah menyuruh Basukarna untuk membunuh dirinya. Ia tak sanggup. Ikatan saudara sekandung terlalu kuat tertanam dalam hati Arjuna. Tapi, sepertinya Basukarna telah mengetahui sifat adiknya. Ia memberikan kata-kata yang sanggup membuat hati Arjuna luluh oleh kebingungan dan memaksa emosi Arjuna meluap. Basukarna menghina Arjuna di tengah medan pertempuran sehingga membuat Arjuna terbakar. Basukarna memaksa Arjuna dengan kata-kata yang bernada menghina agar Arjuna mau bertarung. Dan saat emosi Arjuna meluap sehingga menyerang Basukarna, Basukarna hanya diam tak melawan. Ia sadar sepenuhnya bahwa dirinya salah. Namun demi harga diri, ia korbankan nyawanya agar negeri Amarta yang membawa nilai-nilai kebenaran tidak terlalu banyak jatuh korban. Balas budinya kepada Duryudana adalah dengan tetap berdiri mendukungnya dan pengorbanannya untuk tetap meloloskan kebenaran agar tetap tegak, ia persembahkan nyawanya di tangan adik kandungnya sendiri, panglima perang yang mengusung nilai-nilai kebenaran.
Berikut kutipannya:
Arjuna mementang gandewanya dengan rasa menyerpih-nyerpih. Di ujung lain Basukarna mematung dengan tatap sayu membiru.
.................................
”Aku tak mampu Kakang....”
Nun jauh diujung, Basukarna tertawa membahana. ”Haa...haa.... inikah senapati Amarta? Lelaki banci yang membawa duka cita dalam menuntaskan darma setia? O, Arjuna...dimana perwiramu?”
”Bunuh saja aku Kakang. Labih mudah rasanya,”
................................
”Bunuh saja aku, Kakang...”
................................ ”O, sebaiknya kau memakai kebaya saja, Arjuna. Malu rasanya Kakang berhadapan dengan lelaki banci hari ini. Tak kan kulupakan hinaan jika membunuhmu tanpa perlawanan.”
Hinaan yang dilontarkan oleh Basukarna mampu memancing Arjuna untuk berperang.
Gerigis amarah itu. Tiba-tiba Arjuna mementang gandewa, seribu luka menguasai dirinya. Peperangan harus berakhir, atau semakin banyak rakyat tak berdosa menumpuk jasad di Kurusetra. Batang panah melaju, membelah deru angin yang mengesiur perlahan.
Basukarna tersenyum wibawa. Ditantangnya mata runcing itu dengan dadanya yang membusung.......
..............................
”Kau bisa melakukannya, Dinda.....”. Sungging senyumnya dalam rengkuhan keikhlasan. ”Segalanya memang tak terpilih”
Arjuna memburu dengan lelehan air mata. ”Kakang.......”
Ia menubruk tubuh yang gontai itu. Menghujaninya dengan air mata yang membanjir.
”Kenapa kau diam saja, Kakang.....?
Bagai memakan buah simalakama. Pepatah itu yang patut ditujukan kepada Arjuna. Namun, rupanya pepetah itu lebih lagi patut ditujukan oleh Basukarna. Pengorbanannya, tak seorang pun tahu bahwa dia memilih membela kebenaran dan menggadaikan nyawanya ditangan adiknya sendiri, Arjuna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selalu ada tempat berkomentar untuk anda