Sabtu, 18 Juli 2009

Sastra Peranakan Tionghoa: Sastra Yang Tercecer

Oleh : Van Prey

(bagian II)

Wacana Kontroversi

Kesusateraan sesungguhnya adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam sebuah dinamika perjalan bangsa. Kesusateraan lahir dan tumbuh serta bergerak mengikuti dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Proses meng-ada-nya sastra juga tidak semudah seperti yang dibayangkan. Telah dijelaskan diatas bahwa sastra tidak lahir begitu saja. Tapi kondisi sosial, budaya, politik, ekonomi, agama dan bahkan ideologi juga memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap penciptaan karya sastra. Percikan konflik pemikiran dan badai perbedaan pendapat saling tertuang dalam karya sastra setelah melalui proses pergulatan yang sengit dalam diri sastrawan dalam kontemplasi yang tidak lama. Kontemplasi pun juga belum cukup karena masih ada berbagai hal yang ingin dicipta oleh sastrawan yakni ide baru, gagasan yang inovatif, dan bentuk yang revolusioner dalam karyanya. Sehingga lahirnya karya sastra adalah tidak sesederhana yang dibayangkan. Dia begitu rumit dan memuat berbagai masalah begitu kompleks. Adalah suatu hal yang tak elok jika membuat sekat atau garis pembatas tegas antara Kesusateraan Indonesia lama (tradisional) dan Kesusateraan Indonesia Baru (modern). Pembagian dua wilayah ini seolah-olah seperti membagi sesuatu dalam sebuah wilayah menurut letak geografisnya. Seolah-olah pergerakan kesusateraan Indonesia tidak jauh berbeda dengan gerakan politik yang garis kebijakan politik dalam sebuah pemerintahan dapat ditentukan berdasarkan penggantian kekuasaan atau kepemimpinan pemerintahan (Maman Mahayana, 2007:4).
Hubungan antara sastra dan masyarakat tidak jarang memiliki pengaruh timbal balik. Sebuah problema baru dalam masyarakat yang mana masih dianggap asing, diungkap dalam sebuah karya sastra. Saat karya tersebut diterbitkan dan kemudian dikonsumsi oleh khalayak, tak urung pasti terdapat berbagai penilaian yang berbeda. Ada masyarakat yang setuju dan tidak setuju terhadap karya sastra tersebut. Perbincangan, dialog tak langsung, adu argumen dalam teks karya yang berlainan tahun adalah sesuatu hal yang lumrah namun tidaklah sederhana. Persoalan itu begitu rumit dan problematik.
Lalu, bagaimana mungkin kesusateraan yang meng-ada melalui proses yang rumit itu secara gampang dibuat sebuah garis tegas pembatas antara kesusateraan Indonesia lama (tradisional) dan kesusateraan Indonesia baru (modern)?.
Cara pandang yang menganggap bahwa sesuatu hal yang tradisional itu adalah hal yang kuno, rongsokan, kusam dan terbelakang menjadikan karya sastra Indonesia lama (tradisional) di marjinalkan. Dipinggirkan dan dilupakan. Sedangkan yang baru (modern) di anggap terhormat, bermartabat, revolusioner dan dengan segala macam rupa kelebihannya. Inilah sebuah cara pandang yang menyimpang dan menyesatkan sehingga menganggap sesuatu hal yang tradisional itu selayaknya harus cepat-cepat dikubur sedalam-dalamnya. Dibuang, diasingkan dan tak patut untuk tetap dipertahankan. Padahal, keberadaan kesusateraan modern tentu sangat berkaitan erat dengan kesusateraan tradisional. Tak mungkin ada kesusateraan modern jika tak pernah ada kesusateraan tradisional.
Keberadaan biro penerbit Balai Pustaka—yang saat itu Belanda masih menduduki Indonesia—memiliki pengaruh yang sangat penting dalam sejarah kesusasteraan Indonesia. Berawal dari roman Azab dan Sengsara, Salah Asuhan, Layar Terkembang, Belenggu dan lainnya terus bergulir. Namun rupanya pengaruh kekuasan kolonial Belanda turut menentukan alur perjalanan sejarah kesusateraan Indonesia.
Jika dikatakan, Sejarah selalu berpihak pada penguasa, maka itulah yang terjadi dalam kesusateraan Indonesia. Riwayat perjalanannya penuh dengan pemanipulasian, perekayasaan, penenggelaman, dan penyesatan. Tetapi lantaran sejarah milik penguasa, bahkan penguasa itu juga sengaja menciptakan sejarahnya sendiri, maka yang kemudian bergulir adalah sebuah mainstream yang menyimpan kepentingan politik penguasa dengan berbagai rekayasanya (Maman Mahayana, 2007:93). Yang terjadi kemudian adalah riwayat sastra Indonesia berpusat pada Balai Pustaka. Sastra terbitan Balai Pustaka dianggap sebagai yang berwibawa dan terhormat. Bahasa Balai Pustaka menjadi ikon kebudayaan elite sebagai bahasa golongan yang paling tinggi budayanya. Bacaan diluar Balai Pustaka dianggap sebagai bacaan liar, picisan, bahasa pasar, dan marjinal. Karena itu, para sastrawan beserta karyanya di luar Balai Pustaka saat itu tidak dikenal dan lenyap bersama ambisi tamak kaum kolonialis.

Politik Kolonial Balai Pustaka Menodai Sejarah Kesusasteraan Indonesia

Komisi Untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat ( Commissie voor Indlandsche School en Volkslectuur) yang berdiri pada tahun 1908, digantikan Balai Pustaka atau Kantor Bacaan Rakyat ( Kantoor voor de Volkslectuur) pada 22 September 1917 (Maman Mahayana, 2007:108). Sesungguhnya hal tersebut dilakukan sebagai bagian dari realisasi politik etis kaum kolonialis. Pendirian Balai Pustaka sejatinya memiliki tujuan terselubung yang bermuatan kepentingan politik.
Sutan Takdir Alisjahbana (STA) yang pernah menjadi redaktur Balai Pustaka menuliskan :
Balai pustaka didirikan untuk memberi bacaan kepada orang-orang yang sudah pandai membaca, yang tamat sekolah rendah dan yang lain-lain, disamping untuk memberikan bacaan yang membimbing mereka supaya jangan terlampau tertarik kepada aliran-aliran sosialisme atau nasionalisme yang lambat laun toh agak menentang pihak Belanda.

Di bagian lain STA juga menambahkan :

Ketika itu boleh dikatakan Balai Pustaka mewakili pikiran-pikiran golongan Belanda yang agak enlightened yang sedikit banyak mengandung etische politiek, seperti yang timbul di negeri Belanda pada masa perubahan dari abad 19 ke abad 20.

Memang, Balai Pustaka memiliki peran penting dalam menumbuhkembangkan kesusateraan Indonesia, namun tetap juga menimbulkan persoalan lain yang sangat berkaitan dengan politik kolonial di tanah jajahan (Indonesia). Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa Balai Pustaka melahirkan sastrawan dan kritikus Sastra Indonesia Modern yang berarti ikut mengembangkan kesusateraan Indonesia pada umumnya, tetapi tindakan para penjajah melakukan propaganda antinasional, mengklaim penerbit swasta sebagai ”saudagar kitab yang kurang suci hatinya” adalah suatu tindakan yang telah mencoreng hakikat ilmu sastra, terkhusus pilar sejarah sastra. Citra buruk yang dilabelkan oleh Belanda terhadap penerbit partikulir (swasta) diciptakan agar Balai Pustaka tetap dianggap sebagai penerbit yang berwibawa dan terhormat.
Bahwa buku terbitan Balai Pustaka hanya dikonsumsi oleh kalangan elitis dan penerbit partikulir di konsumsi oleh khalayak umum, maka disinilah muncul ketakutan pemerintah kolonial akan pengaruh bacaan. Karena membaca adalah sebuah jalan menuju dunia yang baru, dan karena membaca adalah salah satu sebab menjadikan seseorang menjadi cerdas, maka dari itu pemerintah kolonial Belanda sadar sepenuhnya jika masyarakat pribumi mengkonsumsi bacaan dari penerbit partikulir akan lebih mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan. Sangatlah wajar jika kemudian Dr. D.A. Rinkes, direktur Balai Pustaka ketika itu, melakukan hasutan dan menyebut bacaan di luar Balai Pustaka sebagai bacaan ”liar”. Berikut kutipan tulisan dari Dr.D.A.Rinkes:
Dalam masa 25 tahun yang baru lalu ini politik pengajaran pemerintah itu amat berubah. Dahulu yang diutamakan hanya akan mengadakan pegawai yang agak pandai untuk jabatan negeri, sekarang pengajaran rendah itu terutama untuk memajukan kecerdasan rakyat.

Tetapi pelajaran itu belum cukup. Tambahan lagi harus pula dicegah, janganlah hendaknya kepandaian membaca dan kepandaian berpikir yang dibangkitkan itu menjadi hal yang kurang baik...

Hasil pengajaran itu boleh juga mendatangkan bahaya kalau orang-orang yang telah tahu membaca itu mendapat kitab-kitab dari saudagar kitab yang kurang suci hatinya dan dari orang-orang yang hendak mengharu.

Oleh sebab itu, bersama-sama dengan pengajaran membaca itu serta untuk menyambung pengajaran itu, maka haruslah diadakan kitab-kitab bacaan yang memenuhi kegemaran orang kepada membaca dan memajukan pengetahuannya, seboleh-bolehnya menurut tertib dunia sekarang. Dalam usaha itu harus dijauhkan hal yang dapat merusak kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri .

Begitulah, Belanda melalui politik kolonialnya dengan berbagai cara berusaha mengunci ilmu pengetahuan, membonsai pribumi agar Belanda tetap dapat menginjak-injak kaum pribumi.
Padahal, jauh sebelum Balai Pustaka ada, beberapa penerbit peranakan Tionghoa sejak 1833 telah ada. Tercatat Kho Bie & Co., Tjoei Toei Yang, Firma Sie Dhian Ho. Penerbit dan percetakan inilah yang banyak menerbitkan buku terjemahan—termasuk buku sastra dan cerita silat—karya pengarang peranakan Tionghoa (Maman Mahayana, 2007:102). Dengan demikian, pengarang peranakan Tionghoa turut memperkembangkan khazanah sejarah kesusateraan Indonesia. Bahkan bisa juga disebut sebagai pembuka jalan menuju sastra Indonesia Modern. Akibat dari tindakan kolonialis Belanda ini, sastra peranakan Tionghoa tercecer dan tak tercatat dalam sejarah kesusasteraan Indonesia.
Penelitian yang dilakukan oleh Claudine Salmon adalah sangat luar biasa. Claudine Salmon tidak hanya menunjukkan bahwa sastra Indonesia telah ramai jauh sebelum Balai Pustaka lahir, tetapi juga membuktikan bahwa karya-karya terbitan diluar Balai Pustaka, tidak kalah dari karya-karya terbitan Balai Pustaka (Maman Mahayana, 2007:7).
Claudine Salmon menyebutkan bahwa keseluruhan karya penulis peranakan Tionghoa antara tahun 1870-1960 yang berhasil dikumpulkan mencapai 3005 judul. Meski jumlah itu tak memperhitungkan cetak ulang, secara kuantitas terbitan balai Pustaka tetap kalah jauh, seperti yang tercatat A. Teeuw berjumlah 400-an karya. Juga pada bulan Desember 1936—dalam catatan kaki Maman Mahayana—Pegawai redaksi Balai Pustaka bersama bagian Taman Pustaka diperintahkan berkeliling pulau Jawa untuk memeriksa penerbit-penerbit didaerah, sekalian dengan memeriksa buku terbitannya. Sampi tahun 1938, terkumpul sekitar 650 buku terbitan penerbit partikulir (swasta).
Sejak Komisi Untuk Bacaan Sekolah dan Bacaan Rakyat bediri (1908) sampai berganti nama Kantor Bacaan Rakyat ( Kantoor voor de Volkslectuur) atau Balai Pustaka pada 22 September 1917, hingga tahun 1928, menerbitkan tidak lebih dari 20-an bovel. Sementara penerbit-penerbit partikulir khususnya milik orang peranakan Tionghoa antara tahun 1903-1928 menerbitkan lebih seratusan novel asli karya lebih dari 15-an pengarang peranakan Tionghoa. Bahkan beberapa diantaranya mengalami cetak ulang !.
Beberapa sastrawan peranakan Tionghoa yang dicatat oleh Claudine Salmon adalah Probitas (nama pena) berjudul Toedjoe belas tahon dalem resia. Satoe tjerita bagoes aken djadi satoe katja bagi gadis-gadis Tionghoa jang dapet peladjaran Eropa ( terbit tahun 1916); Tjermin (nama samaran) berjudul Rasianja satoe gadis hartawan atawa perdjalanan Nona Tan, satoe Tionghoa di Weltervreden jang terpeladjar tinggi achirnja mengandoeng baji rasia, lantaran kemerdika’annja dalam taon 1917 ( terbit tahun 1918) (catatan kaki Maman Mahayana, 2007:52). Sastra Melayu Tionghoa ini tak sedikit yang mengangkat persoalan gender. Bahkan beberapa penerjemah dan pengarang wanita Tionghoa itu mencoba menerbitkan majalah wanita—sejauh pengamatan—pertama yang terbit di Indonesia. Majalah itu bernama Tiong Hwa Wie Sien Po (terbit di Bogor tahun 1906). Pengelolanya adalah Thio Tjio Nio, seorang penerjemah pertama wanita peranakan Tionghoa. Pemimpin redaksinya Lim Titie Nio dan pengarang wanita lain yang karyanya dimuat dalam majalah itu antara lain, Hanna Peng dan Hoedjin Tjan Tjin Bouw (Maman Mahayana, 2007:52).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selalu ada tempat berkomentar untuk anda