Minggu, 21 Maret 2010

Menuju Kematian Realitas?




Konsep tentang apakah realitas sejati menjadi perdebatan panjang semenjak era Yunani sebelum masehi. Tombak-tombak argumen yang saling menghunjam antara para pemikir satu dengan pemikir lainnya menjadi sebuah coretan pelangi yang mewarnai dunia pengetahuan. Ketika dunia ada dengan segala wujudnya, terlepas dari pertentangan kaum ruhaniawan dan kaum ilmuwan, waktu telah menjejak melumuri wujud dunia dan segala isinya tersebut. Begitu pun sosok makhluk bernama manusia, yang secara sadar dan tidak sadar semenjak ia ada dalam kemelut dunia, ia juga berlumuran waktu. Ia adalah sosok yang paling paham dengan sejarah dirinya bahkan jua mencoba mengungkit sejarah Tuhan ketika gonjang-ganjing pencarian realitas terjadi. Segala yang telah ada dalam dunia tersebut terus berubah. Dari lenyap kemudian muncul pembaharu lalu lenyap dan seterusnya sehingga membentuk sebuah kontinuitas. Dan entah dari mana segala yang berubah dalam dunia tersebut di cap sebagai sesuatu yang "fana".

Menjadi sebuah ironi yang menarik, Manusia dengan sifatnya yang "fana" namun haus dan lapar akan kesejatian dan kekekalan. Pergolakan pikir yang terus berlanjut pada diri manusia akhirnya membentuk dua buah narasi raksasa yang saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Tuhan yang hadir dalam sejarah entah sejak kapan, dan kaum yang menganggap realitas sejati adalah dari langit, seakan tidak memberikan kesempatan pada nalar untuk menggapainya. Nalar seakan tersumbat untuk dapat mampu mencapai realitas sejati tanpa kemampuan spiritualitas. Nalar akhirnya memberontak dan membombardir hingga akhirnya beranggapan bahwa sesuatu yang dari langit hanyalah omong kosong belaka. Realitas sejati yang dimiliki oleh nalar kemudian terbatas hanya pada materi. Perkelahian antara para penganut nalar yang tak kenal lelah dengan para penganut iman yang keras kepala terus berlanjut. Dan akan berakhir hingga dunia ini hancur, mungkin.

Apakah mitos yang tidak berpijak pada dunia manusia, atau dunia manusia belaka yang realitas sejati? Atau apakah yang realitas sejati adalah seperti apa yang dikatakan oleh Plato yakni ide?

Konsep yang terbangun adalah pasang-pasangan antara Lahir dengan Batin, Fisik dengan Metafisik, Fenomena dengan Noumena, Imanen dengan Transenden yang terjadi anggapan bahwa yang disebut belakangan adalah sebuah realitas lebih tinggi dibanding yang disebut pertama. Namun benarkah nalar tersumbat sehingga kemampuan untuk mencoba menembus apa yang disebut yang belakangan tak pernah tercapai oleh hasil-hasil yang telah dicapai oleh nalar seperi sains dan teknologi? Ketidakmampuan nalar seakan membuat ia terus merasa tidak puas dan terus mencari dengan rasa yang tidak pernah tenang dan gelisah.

Sains dan Teknologi yang telah dilahirkan oleh nalar kian membiak dan menguasai seluruh sendi-sendi kehidupan. Apalagi disertai oleh sifat keserakahan manusia yang berpikir akan keuntungan. Hal tersebut rupanya telah menciptakan manusia dalam kondisi "masyarakat elektronik" atau seperti yang disebut oleh Gertz sebagai "masyarakat Cybernetik" yang hidup dengan tombol-tombol. Mesin-mesin yang dilahirkan oleh nalar menguasai kehidupan manusia dari segala lini bahkan setingkat seks sekalipun. Teknologi mutakhir yang kini berada dihadapan kita adalah dunia cyberspace dimana didalamnya realitas adalah dunia virtual dimana data-data apapun terbentuk dalam bit-bit (bytes) yang terangkai dan terhubung antara satu dengan yang lain.

Realitas virtual ini hadir menyelusup dalam kehidupan manusia dan telah berada dalam genggaman. Seorang manusia bisa membuat dirinya sendiri dalam dunia virtualitas dalam bentuk asli atau palsu semisal ketika dalam dunia nyata ia laki-laki namun dalam dunia virtual ia bisa menjadi perempuan dan bahkan keduanya. Tubuh atau jasmani seakan adalah suatu hal yang marginal. Ruhani seakan tampil dalam dunia virtual sebagai suatu hal yang dangkal dan tidak memberikan efek secara langsung terhadap psikologis. Hal itu dikarenalkan bahwa realitas virtual sejatinya tidak menyatu dengan realitas yang real. Namun, semakin majunya zaman, yang virtual seakan adalah yang real. Segala kegiatan dunia nyata dikendalikan dari dalam dunia virtual, dari perekonomian, perkembangan teknologi, siraman ruhani dan juga gairah-gairah liar seksual. Tubuh menjadi sesuatu hal yang asing dan marginal. Kegiatan dalam kondisi nyata seakan menjadi nomor dua dan yang paling utama adalah dunia virtual.

Konsep dualistik diatas seperti jasmani/ruhani, imanen/transenden, fenomena/noumena, fisik/metafisik mendapatkan tantangan besar. Anggapan bahwa realitas adalah dua konsep tersebut kini berada di ujung senapan sains dan teknologi mutakhir. Realitas dari konsep dualistik tersebut kini telah mati.

1 komentar:

Selalu ada tempat berkomentar untuk anda